Abdullah Sajad, Jaksa Penuntut Umum dan Kuasa Hukum terdakwa memeriksa berkas Letter C dihadapan Hakim (6/1).
Selasa (6/1) sidang dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dilanjutkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta. Agenda sidang masih mendengarkan keterangan saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum yaitu Abdullah Sajad, SE., Kepala Desa Banguntapan yang menjabat tahun 1996 sampai 2004, kemudian menjabat lagi tahun 2005 sampai sekarang, dan Ir. Supardjo Supardi Djasmani, M.Si yang merupakan dosen aktif Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, UGM.
Saksi Mengaku lalai
Saksi yang pertama dimintai keterangan adalah Abdullah Sajad. Pada sidang sebelumnya telah dibahas bahwa terdapat perbedaan pencantuman nama dalam Buku Papriksan dan Letter C. Ketika ditanya mengenai hal tersebut saksi menyatakan bahwa ia tidak mengetahui perbedaan antara Universitas Gadjah Mada, Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM, ataupun Fakultas Pertanian UGM, sehingga tidak pernah mempermasalahkan perihal perbedaan nama yang tercantum dalam Buku Papriksan dan Buku Letter C. Saksi mengakui bahwa ia telah lalai karena tidak mengecek kembali kedua buku tersebut sebelum menerbitkan surat keterangan tentang kepemilikan lahan. Ia hanya bertanya pada stafnya bahwa isi surat tersebut sudah sesuai dengan Buku Papriksan dan Buku Letter C yang ada. Saksi mengatakan bahwa baru pertama kali melihat wujud Buku Papriksan tersebut pada saat pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi DIY.
Saksi juga dimintai keterangan perihal Buku Papriksan yang tidak dicap dan tanda tangan pejabat terkait yang tidak lengkap. Saksi menjelaskan bahwa setiap tanda tangan pejabat Desa Banguntapan harus dibubuhi cap atau stempel. Namun menurut keterangan saksi buku tersebut dapat digunakan sebagai pedoman bagi kegiatan pemerintahan di Desa Banguntapan karena buku tersebut menurutnya telah disahkan oleh pemerintah kabupaten sehingga legal.
Saksi tidak memahami UUPA yang mulai berlaku sejak tahun 1984 di wilayah Yogyakarta dimana peraturan yang mengatur pertanahan yang berlaku sebelumnya adalah Perda 54. Terkait dengan UU yang mengatur tentang sertifikat kepemilikan tanah, dan lain sebagainya tidak dikaetahuinya secara detail. Hal ini menjelaskan pertanyaan Hakim mengenai adanya 2 Letter C atas nama Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM yaitu Letter C 2203 dan Letter C 1907. Setiap perorangan atau lembaga hanya memiliki satu Letter C, yang di dalamnya bisa memuat kumpulan dari beberapa luas tanah (persil). Letter C 2203 hanya berisi penggalan persil 180 sedangkan Letter C 1907 berisi semua persil yang dimiliki Yayasan Pembina FPN UGM.
Ketika saksi ditanya apakah mengenal ke-4 terdakwa, saksi mengaku pernah bertemu Ir. Toekidjo, MP untuk mengurus jatah penyediaan air di tanah Plumbon yang digunakan sebagai lahan penelitian dan setelah tahun 2003 saksi bertemu sekali dengan Dr. Ir. Triyanto untuk mengurusi masalah yang sama, sedangkan denan terdakwa yang lain saksi mengaku belum pernah bertemu. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh terdakwa yang menyatakan bahwa saksi pernah bertemu dengan 3 terdakwa (Ir. Ken Suratriyah,MS, Dr. Ir. Triyanto, dan Ir. Toekidjo, MP) untuk pengurusan sertifikat tanah persil 41, 42, dan 180 yang dibuktikan dengan adanya tanda tangan saksi pada Surat Keterangan, serta tanda tangan saksi sebagai saksi dalam Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah persil 41 dan 42.
Pada akhir keterangan di persidangan, saksi memberikan pernyataan yang membingungkan “Jika Kepala Desanya bukan saya (Abdullah Sajad-red), tanah-tanah UGM sudah habis tahun 2001”.
Keterangan selanjutnya diberikan oleh Saksi ke-2 persidangan hari itu, yaitu Ir. Supardjo Supardi Djasmani, MSi. Saksi merupakan salah satu anggota Tim Penelusuran Aset Yayasan pada tahun 1997-1998 untuk menelusuri tanah persil 180 di daerah Bentengan, Desa Banguntapan. Penelusuran dilakukan karena tanah tersebut belum memiliki sertifikat hak pakai, sehingga belum mempunyai kepastian hukum. Dalam upaya penelusuran, saksi dan Ir. Toekdijo, MP, salah satu terdakwa, berbekal surat perintah dari Ketua Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM, Surat Keputusan Rektor UGM yang berisi keterangan bahwa tanah tersebut milik yayasan, dan bukti pembayaran PBB (yang sudah disita JPU) oleh yayasan atas tanah tersebut.
Ketika Jaksa Penuntut Umum mengajukan pertanyaan mengenai pemanfaatan aset tanah yang dimiliki Yayasan Pembina FPN UGM saksi mengaku hanya mengetahui bahwa tanah di Desa Banguntapan dibeli oleh Prof. Soedarsono untuk mendukung kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu kegiatan penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini karena saksi mengaku hanya menjadi anggota pasif di Yayasam Pembina Fakultas Pertanian. Saksi juga menyatakan tidak mengetahui adanya proses penjualan aset yayasan. Saksi hanya mengingat pada salah satu rapat pleno disebutkan bahwa salah satu tanah yayasan kurang produktif untuk penelitian sehingga ditukar dan diganti dengan tanah yang lebih produktif.
Sudah Dipakai Penelitian Sejak 1963
Menurut keterangan Saksi, sejak tahun 1980 saat Saksi pertama kali menjadi dosen di Fakultas Pertanian UGM, tanah persil 180 di Banguntapan sudah digunakan untuk praktikum dan penelitian. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan Prof. Soemartono, Guru Besar Pemuliaan Tanaman UGM. Tanah persil 180 yang terletak di Desa Banguntapan sudah dipakai untuk penelitian dosen sejak tahun 1963, tahun dimana tanah tersebut dibeli oleh Prof. Sudarsono, Dekan Fakultas Pertanian UGM saat itu. Dari tanah persil 180 ini, Prof. Soemartono berhasil menemukan varietas padi gogo Gama 61 yang dilepas pada 6 Juni 1966 oleh Lembaga Padi Tanah Kering UGM yang kemudian dimanfaatkan secara nasional. “Saat itu kami tidak pakai izin untuk menggunakan tanah itu, karena bagi kami itu milik Fakultas Pertanian, tapi yang membelikan tanah tersebut adalah Prof. Sudarsono”, ujarnya.
Prof. Soemartono, Guru Besar Pemuliaan Tanaman UGM, menemukan varietas padi lahan kering Gama 61 berkat lahan yang sedang diperkarakan.
Anggapan Prof. Soemartono saat itu bahwa tanah tersebut milik Fakultas Pertanian didasari oleh fakta bahwa Yayasan Pembina Fakultas Pertanian baru berdiri pada tahun 1969. Tahun berdirinya yayasan diungkapkan oleh Prof. Sri Widodo, satu dari tiga pendiri Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM. “Pada tahun 1969, saya bersama Ir. Yutono, Dekan pada tahun 1969, dan Prof. Harjono Danoesastro menghadap notaris untuk mendirikan Yayasan Pembina Fakultas Pertanian, yang sekarang menjadi Yayasan Fapertagama. Lahan yang sekarang dipermasalahkan itu dibeli sebelum yayasan berdiri, lahan itu dibeli sewaktu Prof. Sudarsono masih menjadi dekan tapi lantas bukan jadi milik UGM”, ucapnya. “Setelah ada yayasan, tanah-tanah tersebut dimasukkan menjadi milik yayasan”, lanjutnya.
Reporter: Diyanah, Ima, Thesa, Dzaky, Latif
Fotografer : Jito
Editor: Ezha