Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta, Selasa (25/11) kembali menggelar persidangan kasus dugaan korupsi penjualan asset Universitas Gadjah Mada oleh empat dosen Fakultas Pertanian UGM. Mereka adalah mantan pengurus Yayasan Pembina Fakultas Pertanian periode 2000 hingga 2008, yaitu adalah Profesor Susamto, Toekidjo, Triyanto dan Ken Suratiyah. Sidang digelar terbuka dan dijadwalkan untuk mendengarkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas keberatan (eksepsi) kuasa hukum terdakwa. (Baca : Dakwaan Korupsi Kepada Empat Dosen UGM, Dianggap Tidak Cermat, Tidak Jelas, Tidak Lengkap)
“Setelah kami membaca, mempelajari dengan seksama Eksepsi dari terdakwa maupun Penasihat Hukumnya, kami selaku Jaksa Penuntut Umum, pada prinsipnya menyatakan Tidak Sependapat dengan Eksepsi,” ujar JPU Nurul Fransisca Damayanti di awal pembacaan tanggapan eksepsi.
Mengenai hak tersangka dalam mendapatkan penjelasan sangkaan yang merujuk Pasal 51 huruf (a) KUHAP, JPU berpendapat bahwa sudah jelas dan tidak ada masalah terkait pasal tersebut. Dalam Berita Acara Pemeriksaan telah disampaikan bahwa tersangka diperiksa dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Penyimpangan dalam Pengalihan Tanah Milik UGM. Kemudian dalam pertanyaan selanjutnya tersangka menjawab : “Ya, saya mengerti berdasarkan Surat Panggilan, bahwa saya akan diperiksa sebagai tersangka dalam perkara Tindak Pidana Korupsi…”.
“Persoalan ini sebenarnya sangat sederhana. Bagaimana mungkin seseorang berani menjual barang tanpa sebelumnya tidak pernah membeli atau memperoleh secara legal. Lalu pertanyaannya : barang yang dijual itu milik siapa ? apakah pantas uang penjualan dimasukan pada Deposito atau Rekening pribadi beberapa dosen ?” tanya JPU.
Menanggapi eksepsi kuasa hukum terdakwa mengenai asset yang “tidak pernah dicatat sebagai asset UGM”, JPU menjawab bahwa masih perlu cukup bukti untuk dibahas dalan pembuktian pokok perkara. JPU mengilustrasikan kasus bahwa “Seorang membeli baju dari salah satu toko di kota, dalam perjalanan pulang baju tersebut dirampas penjahat, tentunya baju tersebut belum sempat masuk almari pakaian dan terinventaris sebagai asset atau milik orang tersebut, tetapi dapat dibuktikan bahwa baju tersebut adalah miliknya yang pernah dibeli dari toko itu”.
Dari uraian panjang tanggapan jaksa penuntut umum atas eksepsi terdakwa, mereka simpulkan bahwa Surat Dakwaan dalam perkara ini sudah disusun secara cermat, jelas dan lengkap sesuai perundang-undangan. Kemudian, JPU menganggap eksepsi kuasa hukum terdakwa sudah terlalu jauh memasuki materi pokok perkara dan masih terlalu dini untuk dipermasalahkan dalam eksepsi. Dan karena itu, JPU memohon kepada Majelis Hakim untuk menolak Eksepsi Tim Penasihat Hukum Terdakwa dan Para terdakwa serta diberi kesempatan untuk melanjutkan memeriksa dan mengadili perkara.
Pembacaan naskah tanggapan JPU berlangsung sekitar 30 menit dengan uraian sebanyak sembilan halaman. Persidangan diakhiri dengan tanda ketok palu Ketua Hakim Sri Mumpuni tepat pukul 09.54 WIB. Agenda persidangan selanjutnya adalah putusan sela oleh Hakim, pada Selasa, 2 Desember 2014, di Pengadilan Negeri Tipikor, Jalan Soepomo No 10, Janturan, Yogyakarta.
Usai persidangan, para hakim, JPU, kuasa hukum dan para terdakwa empat dosen Fakultas Pertanian keluar dari ruang sidang. Sayup-sayup terdengar suara lagu Hymne Gadjah Mada berkumandang di teras Pengadilan Negeri Tipikor, Yogyakarta. Suara berasal dari sekelompok Mahasiswa Pertanian UGM dengan membawa spanduk bertuliskan “Selamat Hari Guru Nasional, Dosenku, Pahlawanku, Tauladanku”. Isi spanduk ditunjukan kepada empat dosen Fakultas Pertanian UGM yang telah melewati persidangan hari itu. Suasana semakin mengharu biru usai lagu Hymne Gadjah Mada, para mahasiswa meneriakan kalimat “Dosenku Pahlawanku, Dosenku Tauladanku”.
Sementara itu, Kuasa hukum ke empat terdakwa, Augustinus Hutajulu saat ditemui BPPM Primordia di akhir persidangan berkomentar bahwa penjelasan dalam penyidikan yg dimaksud dalam pasal 51 (a) KUHAP itu bukan “sekedar apa yg tertulis dalam surat panggilan Penyidik”. Dirinya menilai perlu dijelaskan sejelas-jelaskan mengenai sangkaan bahkan harus dengan bahasa tersangka. Surat panggilan dianggapnya bukan penjelasan.
Ilustrasi JPU “baru beli barang belum dicatat sudah dirampok”, menurut Hutajulu itu mengacu pada saat tahun 1963 setidaknya sebelum tahun 1970. Dirinya menganggap hal ini semakin mengaburkan dakwaan, karena berarti “para perampoknya” bukanlah para terdakwa, tetapi para Pendahulu mereka pengurus Fakultas atau Yayasan tahun 1960- 1970.
“Astagfirullah al ‘adzim, hampir semua mereka sudah wafat, dan yang masih hidup belum pernah disidik, kok dicap “ilustrator” sebagai “perampok” ? Itu bisa menimbulkan tuntutan dari para ahli waris. Itu bisa jadi fitnah kepada para almarhum dan bias jadi fitnah pada yang masih hidup,” tandas Hutajulu.
Hutajulu mengungkapkan bahwa penggunaan nama pribadi Dosen atau Pengurus Yayasan dalam sertifikat hak tanah adalah agar status hak tanah tidak turun menjadi hak pakai, karena Yayasan Fapertagama bukan subyek hak milik. Selain itu, penggunaan nama pribadi dianggap tidak merugikan Yayasan, karena sertifikat ada di Yayasan dan terdapat pula Surat Pernyataan dari yang namanya dipinjam. “Semuamya itu sepengetahuan Anggota Yayasan, Dekan,” jelasnya.
Mengomentari Tanggapan JPU tentang uang penjualan tanah yang dimasukan pada Deposito atau Rekening pribadi beberapa dosen sebagai pengurus Yayasan, Hutajulu menandaskan bahwa hal itu karena alasan praktis. Dana yang diperlukan secepatnya oleh Yayasan, dosen atau mahasiswa yang akan praktek, akan praktis di tangan pengurus karena Ketua Yayasan tidak selalu berada di tempat. Namun, semua buku tabungan serta catatan mutasi atau penggunaan uang dalam buku tabungan telah dicatat dalam buku keuangan Yayasan. Keadaan tersebut dilaporkan ke Dekan Fakultas Pertanian UGM. “Jadi bukti-buktinya ada disitu. Jadi mereka berpikir formalitas,” ungkapnya mengakhiri wawancara.
Penulis : Sandy, Eka
Editor : Risma