Sidang kasus dugaan korupsi yang melibatkan empat dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada telah dilakukan sebanyak dua kali. Kasus ini banyak menyita perhatian Civitas Akademika UGM serta masyarakat umum. Dakwaan ditujukan pada terdakwa atas penyelewengan penggunaan jabatan untuk penjualan aset UGM.
Persidangan ke dua, empat dosen Fakultas Pertanian UGM telah bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta, Kamis, 20 November 2014. Agenda persidangan adalah pengajuan keberatan (eksepsi) dari empat terdakwa terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor PDS-07/BNTUL/10/2014 yang disampaikan oleh kuasa hukum Augustinus Hutajulu. Eksepsi berisi fakta yang menanggapi dugaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sidang dipimpin hakim Sri Mumpuni dengan dua hakim anggota.
Empat dosen Fakultas Pertanian (mantan pengurus Yayasan Pembina Pertanian) yang didakwa terjerat dugaan korupsi adalah Profesor Susamto, Toekidjo, Triyanto dan Ken Suratiyah. Mereka didakwa melakukan penjualan aset UGM berupa lahan sebesar 4.073 meter persegi di Plumbon, Banguntapan, Bantul. “Para terdakwa pada 1998 hingga 2008 di desa Banguntapan, Bantul telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara cq Universitas Gadjah Mada,” tutur Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nila Maharani pada persidangan sebelumnya.
Di awal pembacaan eksespsi, kuasa hukum menyampaikan bahwa selama proses penyidikan para terdakwa tidak pernah dijelaskan perkara atau masalah yang disangkakan. Padahal dalam menanggapi pembacaan Surat Dakwaan, Para Terdakwa telah berulang kali memohon hak kejelasan kepada Penyidik. Sesuai yang tercantum pada Pasal 51 huruf a KUHAP menyebutkan “Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”. Dalam proses persidangan pertama terdakwa mengajukan keberatan atas kasus yang menjeratnya, namun JPU menjanjikan ”Nanti akan dijelaskan di persidangan!”. Hak terdakwa untuk bertanya dalam persidangan mengenai dakwaan telah diatur dalam pasal 51 Huruf b KUHAP.
“Kami katakan kasus ini unik. Sebagaimana telah diberitakan di berbagai media massa dan dalam Surat Dakwaan perkara, Para Terdakwa telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara cq. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atau Fakultas Pertanian UGM. Namun Fakultas Pertanian UGM, UGM bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan tegas menyatakan bahwa asset-asset yang dikelola oleh Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM (Yayasan FAPERTAGAMA) tidak terdaftar sebagai asset UGM,” jelas kuasa hukum.
Penjelasan tersebut juga diperkuat dengan Surat Rektor UGM No. 5293/ PIV/ HT/ 2014 tanggal 26 Juli 2014 yang menyatakan bahwa asset-asset yang disebut oleh Penuntut Umum sebagai milik UGM tidak pernah tercatat sebagai asset UGM. Demikian juga Departemen Pendidikan melalui Suratnya No. 135606/A.A1.3/LK/2014 tanggal 21 Agustus 2014 menyatakan bahwa setelah dilakukan pengecekan pada neraca Simak BMN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tanah tersebut tidak tercatat baik pada neraca Simak BMN maupun pada laporan kompilasi data Simantap Kementerian. Dari uraian tersebut, Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam Dakwaan Kesatu Primair dianggap tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang mensyaratkan suatu Surat Dakwaan harus cermat, jelas dan lengkap dan oleh karenanya haruslah dinyatakan batal demi hukum.
Keunikan lain disampaikan oleh kuasa hukum yang menyatakan bahwa selama ini Civitas akademika UGM mengenal para dosen yang terlibat kasus sebagai sosok yang tehormat. Lahan yang diperkarakan dalam kasus ini pun masih bergulir di Persidangan Perdata Kabupaten Bantul untuk menentukkan hak kepemilikan lahan. Telah terbukti pula selama ini asset beserta aktivitas Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM menunjang pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi UGM. Dibuktikan dengan beberapa hasil penelitian telah diakui secara internasional dan telah menunjang kelulusan ratusan bahkan ribuan mahasiswa Pertanian yang tersebar di berbagai wilayah Republik Indonesia dan berbagai Negara.
Surat Dakwaan JPU menyebutkan Fakultas Pertanian dan Kehutanan menerima peralihan beberapa bidang tanah dari masyarakat Desa Banguntapan, tanggal 31 Desember 1963. Setelah ditelusuri laman Fakultas Kehutanan UGM dan dicantumkan dalam eksepsi kuasa hukum, pada 17 Agustus 1963 Fakultas Kehutanan telah resmi berdiri sendiri. Selanjutnya bidang tanah dengan luas 1.865 meter persegi, 1.200 meter persegi, 1.425 meter persegi, 665 meter persegi, 385 meter persegi, 1.160 meter persegi dari total peralihan 9.535 meter persegi disebutkan kepemilikan diatasnamakan UGM Fakultas Pertanian dan Perkebunan. Pada kenyataannya hingga saat ini UGM tidak pernah memiliki Fakultas bernama “Fakultas Pertanian dan Perkebunan”. Beberapa kenyataan tersebut memperkuat anggapan kepada kuasa hukum dan para terdakwa bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Telah diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan Pasal 143 ayat (3) bahwa “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.”.
Saat ditemui BPPM Primordia di waktu yang berlainan, Augustinus Hutajulu selaku kuasa hukum terdakwa berpendapat bahwa conditio sine qua non (syarat yang mutlak ada) dalam kasus ini belum tercapai. Conditio sine qua non yang dimaksud adalah tidak diperiksanya pihak Kelurahan Banguntapan dalam dakwaan. Padahal kelurahan lah yang mengeluarkan Surat Kepemilikan Lahan kepada Yayasan Pembina Pertanian UGM. Tanpa keterlibatan dan persetujuan pihak kelurahan, surat tersebut tidak pernah ada dan segala apapun yang ditulis, dibuat dan dilakukan Para Terdakwa tidak mempunyai akibat hukum.
Kuasa hukum terdakwa menambahkan bahwa dalam Surat Dakwaan dituliskan adanya peralihan hak atas lahan atas nama UGM. Padahal semua yang dituliskan dalam “buku pepriksan” tidak pernah ada yang mengatakan UGM memiliki hak atas lahan tersebut. Menurutnya ada kebohongan dalam kasus ini. Nemo gratis mendax (tidak ada kebohongan yang gratis), pasti ada maksud yang tersembunyi. “Apakah ingin prestasi semu karena membongkar kasus besar, atau ?” tanyanya.
Persidangan akan dilanjutkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta, pada Selasa, 25 November 2014. Agenda persidangan selanjutnya membahas tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta atas pembacaan eksepsi kuasa hukum terdakwa. Hakim mengatakan persidangan selanjutnya dijadwalkan akan berlangsung pukul 09.00 hingga 11.00 WIB di Pengadilan Tipikor, Jalan Soepomo, Janturan, Yogyakarta.
Penulis : Sandy, Jito, Danis
Editor : Risma