“Kerakyatan” menjadi kata yang tak pernah lekang oleh waktu. Ditinjau dari penggunaannya, kerakyatan sering menjadi makanan pokok para pemerhati masyarakat. Kata tersebut “meracuni” pikiran orang-orang yang belum paham makna dari kerakyatan itu sendiri. Penggunaan kata ini sering menyulut api sehingga masyarakat sangat sensitif. Hal itu menjadikan segala hal yang berkedok kerakyatan menjadi alat yang mujarab untuk melancarkan program-program yang notabene untuk kepentingan pribadi. Menurut KBBI, kerakyatan [ke-rak-yat-an] adalah segala sesuatu yang mengenai rakyat. Rakyat di sini biasa diartikan sebagai keterlibatan rakyat dalam segala aspek kehidupan dan tidak membatasi akses mereka untuk menikmati segala hal (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).
Menelusuri Kebijakan Kampus
Kerakyatan merupakan jati diri Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diberikan oleh kalangan akademisi dan masyarakat kepada kampus ini. Jati diri tersebut diperoleh UGM karena kedekatan civitas akademika dengan masyarakat. Bukan hanya dalam hal perjuangan kemerdekaan, tetapi dalam kiprah penelitian dan pengabdian menjadikan julukan tersebut (masih) melekat kuat dalam diri UGM. Ironisnya, sekarang sedang hangat diperbincangkan jati diri UGM tersebut. Terlebih tentang berbagai kebijakan yang dikeluarkan ‘petinggi’ kampus yang dirasa membatasi ruang gerak masyarakat. Disini terdapat perbedaan persepsi yang jelas mengenai makna kerakyatan oleh pemangku kebijakan dengan masyarakat sekitar dan mahasiswa. Mahasiswa sebagai control social dalam masyarakat mengambil peran untuk mengkritisi kebijakan yang ‘dirasa’ merugikan dan menciderai hak rakyat. Sayangnya, peran ini serta-merta ditunggangi kepentingan pribadi sehingga mengaburkan peran mahasiswa pada hakikat yang sebenarnya.
Hangat diperbincangkan kebijakan lalu lintas di lingkungan kampus mengenai pemindahan portal keluar-masuk kendaraan dan peraturan terkait karcis kuning. Pemindahan portal ini terjadi di dua titik yaitu portal di Jalan Olahraga bagian utara (bawah Jembatan Perikanan-Kedokteran Hewan) dan Jalan Olahraga bagian selatan (selatan Pusat Jajanan Lembah). Tujuan pemindahan portal ini adalah untuk penyederhanaan dan pengefektifkan pemeriksaan kendaraan serta jumlah petugas pemeriksa. Hari pertama uji coba, pemindahan portal ini menyebabkan kemacetan disepanjang Jl. Agro-Jl.Prof.DR.DRs Notonagoro karena tidak ada pemberitahuan kepada mahasiswa terkait pemindahan portal. Hal ini sengaja dilakukan untuk memperoleh data real di lapangan terkait jumlah kendaraan yang keluar-masuk kampus. Selain pemindahan portal, yang menjadi sorotan lain adalah pemeriksaan kendaraan keluar-masuk area kampus yang agak diperketat. Civitas akademika harus menunjukkan KTM/Kartu Pegawai/Kartu KAGAMA (Keluarga Alumni Gadjah Mada) dan masyarakat sekitar harus mengambil Karcis Kuning jika masuk area kampus. Selain itu, masyarakat yang tidak berkepentingan dengan kegiatan kampus diimbau untuk melalui Jl. Agro. Kebijakan ini menuai protes dari mahasiswa yang merasa UGM kehilangan jati dirinya sebagai kampus kerakyatan. Alhasil sejumlah aksi protespun dilakukan mulai dari protes di dunia maya seperti Line, Instagram, dan Facebook sampai pemasangan spanduk yang berisikan sindiran. Disinilah perbedaan makna kerakyatan yang dimaksudkan.
Mari Kita Runut Seperti Ini
UGM adalah kampus terbuka berpagar maya dimana tidak adanya batas fisik yang memisahkan antar kegiatan civitas akademika dan masyarakat umum. Akibatnya, semua jalan di UGM menjadi pintu keluar-masuk kendaraan dan sangat sulit untuk menyeleksinya. Data hasil uji coba menunjukkan sebesar 25% kendaraan yang keluar-masuk kampus adalah masyarakat yang tidak mempunyai kepentingan dengan kegiatan kampus alias numpang lewat sehingga sering terjadi kemacetan. Hal ini berimbas pada kenaikan tindak kriminalitas dan kecelakaan di kampus serta perusakan fasilitas kampus. Parahnya lagi, tindak asusila meningkat dengan tidak adanya kontrol kendaraan. “Kemarin kita melakukan sidak di area lembah, hasilnya ada sekitar 20 pasang yang nglakuin hal tidak senonoh,” ujar Noorhadi.
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 2013-2014 pihak kampus menerapkan kebijakan KIK (Kartu Identitas Kendaraan) sebagai syarat keluar-masuk kendaraan civitas akademika di lingkungan kampus, sedangkan masyarakat umum dikenakan biaya Rp1.000,-. Penggunaan KIK menunjukkan dampak yang positif karena dapat mengurangi kecelakaan di lingkungan kampus. Data yang didapat dari Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) menunjukkan penurunan angka kecelakaan selama 3 tahun terakhir. Tahun 2014 terjadi 32 kasus kecelakaan, tahun 2015 turun menjadi 16 dan tahun 2016 sebesar 15 kasus kecelakaan. Walaupun berdampak positif, kebijakan ini tetap menuai protes dari mahasiswa dan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, masalah tersebut dibawa keranah hukum karena adanya peraturan membayar untuk masyarakat umum yang ingin masuk lingkungan kampus. Alhasil, tahun 2014 KIK diganti dengan karcis kuning.
Berjalan selama hampir 3 tahun dengan 46.000 bendel cetak setiap tahun, karcis kuning menuai banyak kritik mulai dari kegunaan dan keefektifannya. Awal pemberlakuannya, semua kendaraan yang masuk lingkungan kampus diimbau mengambil karcis kuning di portal yang dilewati dan menyerahkannya lagi jika keluar lingkungan kampus. Karcis kuning hanya digunakan untuk mengetahui jumlah kendaraan yang keluar-masuk lingkungan kampus baik itu mahasiswa ataupun warga sekitar. Akibatnya, tidak bisa dibedakan lalu lintas antara civitas akademika dan warga. Berdasar hal tersebut, dikhawatirkan (dan memang sudah terjadi) dampak negatif seperti tindak kriminalitas, asusila dan kecelakaan di lingkungan kampus kembali meningkat sehingga diterapkan kebijakan pemeriksaan kendaraan keluar-masuk yang sudah terlaksana pada Selasa (7/3) lalu.
Melihat fenomena yang terjadi, mahasiswa mempunyai mindset bahwa pihak kampus mempersulit masyarakat memasuki lingkungan kampus. Noorhadi, Kepala Pusat PK4L menegaskan bahwa kampus tidak pernah melarang masyarakat untuk masuk lingkungan kampus. Kebijakan tersebut diterapkan untuk menyeleksi, mencegah tindak kriminalitas dan menata lingkungan kampus supaya lebih nyaman, bukan berarti bersifat eksklusif. Masyarakat umum tidak dilarang untuk melintasi lingkungan kampus tapi dihimbau untuk menggunakan jalan yang telah disediakan untuk mengurangi hal-hal yang sudah disebutkan sebelumnya. Penataan jalur lalu lintas ini bertujuan agar kampus menjadi nyaman yang berkaitan dengan Safety, Health dan Environment (SHE). Harapan dengan diberlakukan kebijakan ini, civitas akademika lebih merasa aman dan nyaman untuk beraktivitas.
Kebijakan lain adalah penutupan portal jam 22.00 WIB. Hal ini berkaitan dengan keputusan yang mengharuskan lingkungan kampus harus steril dari kegiatan pada jam tersebut. Akses keluar kendaraan difokuskan di gerbang utama UGM (bisa lewat Jalan Bhineka Tunggal Ika) untuk mempermudah dalam hal pengawasan.
Noorhadi menyayangkan aksi protes yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa tanpa mengetahui latarbelakang penerapan kebijakan ini. Ia mengajak mahasiswa untuk memahami kerakyatan pada hakikat yang sesungguhnya, bukan berarti lingkungan kampus harus semua bisa diakses oleh masyarakat tetapi lebih kepada kerjasama dan pengabdian civitas akademika dengan masyarakat. Mahasiswa boleh bersuara namun harus didasarkan pada fakta dan logika, jangan mudah tersulut emosi yang menggunakan istilah kerakyatan yang didasarkan kepentingan pribadi. Penghuni rumah tidak mungkin merusak rumahnya sendiri. “UGM adalah kampus terbuka. Agar UGM nyaman ya yang ngatur kita sendiri. Mari kita atur sebaik-baiknya agar menjadi kampus yang nyaman, salah satunya dengan mengatur lalu lintas karena hal itu berkaitan dengan keamanan dan keselamatan bersama. Mari kita atur rumah kita,” pesan Noorhadi.
So, bagaimana pendapat kengkawan Primordia? Apakah penerapan kebijakan ini dapat dianggap sebagai penyelesaian akan masalah yang telah diapaparkan? Atau, tetap saja saat ini UGM telah menodai “kerakyatan”-nya? Let’s open our mind once more.
Reporter: AV, AHP, EM
Fotografer: LAFR
Editor: SNL