Ketiga saksi disumpah sebelum memberikan kesaksian (kiri ke kanan) Herguswanto, Dewi Kristiani, Siswadi
Pada tanggal 27 Januari 2015 bertempat di Pangadilan TIPIKOR DIY kembali dilakukan sidang dugaan tindak pidana korupsi dengan terdakwa empat dosen Fakultas Pertanian UGM. Fokus agenda sidang masih mendengarkan keterangan saksi dari pihak JPU. Saksi yang dihadirkan dalam sidang terdiri dari 3 orang (saksi ke 12,13,14) yaitu Siswadi, Dewi Kristiani, dan Herguswanto. Siswadi dan Herguswanto dijadikan saksi karena berkaitan dengan tanah persil 180, sedangkan Dewi Kristiani menjadi saksi karena merupakan staf notaris yang mengurus jual beli tanah persil 180.
Saksi yang pertama dimintai keterangana dalah Siswadi. Siswadi merupakan pemohon hak atas tanah (pembeli) persil 180 dari Letter C 2203 yang terletak di Desa Banguntapan. Saksi awalnya mengetahui tanah persil 180 yang akan dibeli merupakan milik Suwarno (Kepala Desa sebelum Abdullah Sajad) karena yang menawarkan tanah dan harga perihal harga adalah Suwarno. Saksi mengetahui tanah tersebut adalah milik Yayasan Pembina FPN UGM saat sebelum pembayaran dan pembuatan perikatan jual beli. Setelah saksi ditawari tanah tersebut oleh Suwarno, saksi meminta untuk melakukan pengukuran guna menentukan harga yang harus dibayar. Pengukuran tanah dilakukan oleh : saksi bersama anaknya, Suwarno yang saat itu sudah menjadi mantan kades, pihak notaris yang diwakili oleh Dewi Kristiani, Sarjuni, dan pihak BPN. Setelah dilakukan pengukuran (luas tanah diketahui 455 m2) saksi dan Suwarno melakukan tawar menawar harga dan disepakati harga tanah Rp 400.000,00/m2. Menurut keterangan saksi pembayaran diberikan kepada pihak Yayasan Pembina FPN sebesar Rp 300.000,00/m2 (Rp 136.500.000,00) dan Rp 100.000,00/m2 (Rp 45.500.000,00) kepada Suwarno, ditambah membayar Rp 77.000.000,00 yang oleh saksi dibenarkan dengan adanya kwitansi pembayaran (sebesar Rp 77.000.000,00), digunakan sebagai dasar perhitungan pajak dan administrasi lainnya.
Menurut saksi, pembayaran dilakukan di rumah Suwarno bersama dengan Ir. Tukidjo Dr. Triyanto, dan Ir. Susamto. Pernyataan saksidi bantah oleh Ir. Triyanto, bahwa Ir. Susamto tidak pernah ikut untuk mengurusi proses penjualan tanah. Pernyataan Ir. Triyanto tersebut diterima saksi karena saksi mengatakan lupa siapa saja yang ikut saat pembayaran “yang saya ingat ada 3 orang yang ikut”, penuturan saksi.
Saksi melimpahkan semua proses terkait jual beli tanah tersebut ke notaris dan Suwarno, sehingga ketika ditanya mengenai dokumen-dokumen yang terkait dalam jualbeli tanah saksi mengatakan tidak tahu. Ketika ditanya JPU mengenai surat kuasa yang diberikan saksi ke notaris (Dewi Kristiani), saksi menyatakan tidak ingat kalau memberikan kuasa ke Dewi.
Keterangan selanjutnya diberikan oleh Dewi Kristiani yang merupakan staf notaris Ika Farikha, SH yang bekerja mulai tahun 1999. Saksi membuat perikatan jual beli dalam proses pelepasan tanah persil 180 antara Yayasan Pembina FPN dan Siswadi. Menurut keterangan saksi proses peralihan tanah tersebut bukan merupakan proses jual beli namun perikatan jual beli karena sudah ketentuan dari BPN. Bendel konversi diserahkan saksi ke pihak BPN kemudian BPN membuat pelepasan hak. Menurut saksi proses peralihan tanah melalui konversi karena proses terjadi antara badan hukum (Yayasan Pembina FPN) dan perorangan (Siswadi).
Menurut kesaksian Dewi, dokumen-dokumen yang diserahkan untuk diproses sudah dicek ulang ke kelurahan dan kelurahan sudah membenarkan semua dokumen tersebut. Selama proses peralihan tanah tersebut juga tidak ada masalah berarti menurut saksi. Ketika ditanya hakim mengenai keyakinan saksi akan pemilik tanah, saksi yakin yang memiliki adalah Yayasan Pembina FPN UGM. Menurut saksi keyakinan tersebut dikarenakan saksi melihat petikan Letter C bahwa yang memiliki tanah tersebut adalah Yayasan Pembina FPN UGM, dalam perikatan jual beli juga dijelaskan bahwa pihak penjual (pelepas hak) adalah Yayasan Pembina FPN UGM, kemudian dalam berita acara penjualan aset yang saksi baca juga menyebutkan Yayasan Pembina FPN UGM.
Ketika dijelaskan penasehat hukum mengenai Letter C merupakan hukum adat dan sertifikat merupakan UUPA, saksi mengerti tentang hal tersebut. Sehingga menurut penasehat hukum, transaksi dari hukum adat ke UUPA harus melalui pelepasan, pernyataan tersebut dibenarkan oleh saksi. Sehingga dibuat perikatan jual beli bukan akta jual beli, menurut keterangan saksi dan pelepasan hak harus di BPN. Selain mengklarifikasi hal tersebut, penasehat hukum juga menanyakan penulisan dalam perikatan jual beli yang masih mencantumkan akta pendirian tahun 1969 yang pada proses pembuatan perikatan jual beli sudah ada perubahan akta. Selain itu bila yang dicantumkan akta tahun 1969 ketua Yayasan Pembina FPN UGM saat itu buka Ir. Susamto, saksi menyatakan tidak tahu mengenai hal tersebut dan ke empat terdakwa belum pernah diklarifikasi mengenai hal tersebut oleh pihak notaris.
“Memang ada kesembronoan. Mereka (terdakwa) adalah korban kekeliruan”, komentar Hutajulu penasehat hukum terdakwa saat saksi menyatakan ketidak tahuannya.
Kesaksian terakhir diberikan oleh Herguswanto yang merupakan pemilik tanah persil 180 dari Letter C 927 disamping tanah milik Siswadi. Saksi mendapat tanah tersebut dari hibah orang tuanya pada tahun 1994. Luas yang tertulis dalam sertifikat adalah 1728 m2, namun yang tertulis dalam buku papriksan adalah 1.190 m2. Tanah yang dimiliki saksi dijual ke Desa Banguntapan seharga ± Rp 380 juta. Saat dijual kepada Desa Banguntapan, tanah tidak diukur dulu sehingga saksi tidak tahu ukuran tanah sebenarnya. Menurut keterangan saksi, tanah Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM (yang saat ini sudah dimiliki oleh Siswadi) sepengetahuannya termasuk dalam tanah milik saksi.
Reporter : Ria
Editor : Ezha