Kedua saksi (Sugi Endro Amiarso, SH dan Ika Farikha, SH) saat disumpah
Sidang lanjutan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan 4 dosen Fakultas Pertanian UGM dilakukan di Pengadilan TIPIKOR DIY pada hari Selasa 20 Januari 2014. Agenda sidang kali ini masih mendengarkan keterangan saksi yang diajukan oleh pihak JPU (Jaksa Penutut Umum). Saksi yang dihadirkan adalah Sugi Endro Amiarso, SH dan Ika Farikha, SH. Kedua saksi merupakan notaris yang menangani proses peralihan tanah Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM.
Keterangan pertama diberikan oleh Sugi Endro Amiarso, SH yang saat ini bekerja sebagai notaris. Pada saat kejadian perkara, saksi menjadi mahasiswa magang di kantor notaris Enarwanto, SH dari tahun 2005 sampai 2010 bertepatan dengan terjadinya proses jual beli tanah tanah persil 41 dan 42 antara Yayasan Pembina FPN dan Wisnu (PT. Getrindo) yang telah dihadirkan pada persidangan sebelumnya (13/1). Saat magang di kantor notaris, saksi diperintahkan oleh Enarwanto, SH untuk mengambil berkas ke Desa Banguntapan. Saksi ke Desa Banguntapan untuk mengurus berkas tidak hanya sekali dua kali karena berkas belum siap atau ada data yang masih kurang.
Menurut keterangan saksi terakhir kali ke Desa Banguntapan untuk mengambil berkas, saksi bertemu Dr. Triyanto yang kemudian masuk ke ruangan kepala desa Abdullah Sajad dan orang yang ada di dalam ruangan adalah Abdullah Sajad, Warjono (Kabag. Pemerintahan), dan Paiman. Menurutnya Dr. Triyanto datang untuk membayar biaya pulasi atau pologoro (pungutan desa) agar berkas tersebut dapat diambil. Setelah Dr. Triyanto meninggalkan ruangan, Paiman menyerahkan berkas yang sudah terisi lengkap kepada saksi.
Menurut penuturan penasehat hukum para terdakwa (Augustinus Hutajulu, SH, MH), dalam berita acara pemeriksaan (BAP), saksi menyebutkan bahwa yang tanda tangan pada berkas adalah Dr. Triyanto, namun ketika dikonfirmasi saat sidang saksi mengatakan tidak tahu. Selain itu pada poin 6 BAP saksi, saksi menyebutkan bahwa Dr. Triyanto bersama Wisnu (PT. Getrindo) menyerahkan syarat-syarat berupa blanko konversi, surat keterangan desa, kutipan Letter C, surat pernyataan pemohon, dan berita acara ukur. Penasehat hukum para terdakwa lalu menanyakan apakah saksi benar melihat Dr. Triyanto menyerahkan berkas, saksi menyatakan benar melihat. Ketika ditegaskan oleh hakim apakah berkas yang diserahkan Dr. Triyanto merupakan blanko konversi, saksi menjawab iya. Namun ketika ditanya kembali oleh hakim apakah permasalahan yang saksi urus adalah masalah konversi atau jual beli, saksi bingung dan menjawab tidak tahu.
Keterangan saksi tersebut dibantah oleh Dr. Triyanto yang menyatakan bahwa ia tidak pernah meyerahkan blanko konversi tetapi menyerahkan salinan Letter C, PBB, dan surat keterangan. Kemudian ketika Dr. Triyanto datang ke kantor Desa Banguntapan tidak pernah melihat saksi, dan ia tidak membayar pulasi/pologoro.
Pada BAP saksi poin 8, 11, dan 13 terdapat pernyataan saksi yang dianggap berbeda dengan keterangan yang diberikan di persidangan sehingga diputuskan poin berita acara tersebut tidak benar. Selain itu dalam BAP poin nomor 12, saksi juga menuturkan uang pulasi/pologoro yang dibayarkan sangat banyak “Uang pologoro sangat banyak, karena saya menunggu lama”. Ketika hal tersebut ditegaskan hakim, saksi mengaku tidak tahu karena tidak melihat langsung dan tidak melihat adanya tanda terima uang. Saksi mencabut keterangan dalam poin BAP tersebut.
Keterangan selanjutnya diberikan oleh saksi kedua yaitu Ika Farikha, SH yang merupakan Notaris dan PPAT Kabupaten Bantul yang menangani proses peralihan hak tanah persil 180 dalam letter C 2203 seluas 455 m2 antara Yayasan Pembina FPN dengan Siswadi. Menurut keterangan saksi, pada awalnya saksi diberi tahu oleh Suwarno (Kepala Desa Banguntapan sebelum Abdullah Sajad) bahwa akan ada pemohon hak tanah bernama Siswadi. Penyampaian tersebut tertanggal 27 Agustus 2007, kemudian pada tanggal 28 Agustus 2007 saksi menerbitkan Akta Perikatan Jual Beli yang ditanda tangani oleh pihak Yayasan Pembina FPN (diwakili Ir. Ken Suratiyah, MS. Dr. Triyanto, Ir. Tukidjo, MP) dan pihak Siswadi.
Saksi menyatakan bahwa proses peralihan hak tanah antara Yayasan Pembina FPN dan Siswadi adalah jual beli. Saat ditanya oleh JPU mengapa setelah selesai proses jual beli saksi tidak menerbitkan akta jual beli (kalau memang benar jual beli), saksi menjawab bahwa pembuatan akta jual beli harus melalui pelepasan hak dan BPN yang berhak mengeluarkan surat pelepasan hak sehingga walaupun sudah lunas saksi tidak diperbolehkan membuat akta oleh BPN. Menurut penuturan penasehat hukum para terdakwa, lepasnya hak atas tanah setelah adanya pelepasan hak, hak dilepaskan kepada negara lalu oleh negara hak tersebut diberikan kepada pemohon yang dalam kasus ini adalah Siswadi, dan hal ini dibenarkan oleh saksi.
Selanjutnya berdasarkan keterangan saksi proses pelepasan hak ditangani oleh stafnya (Dewi) karena Dewi sudah diberi kuasa oleh kedua pihak untuk menangani proses pelepasan hak yang tercantum pada surat kuasa yang dibuat tanggal 28 Agustus 2007. “Kedua belah pihak tidak dapat hadir, sehingga memberi kuasa kepada staf saya (Dewi)”, demikian dituturkan saksi. Menurut penasehat hukum para terdakwa, karena para pihak (para terdakwa dan Siswadi) sudah memberi kuasa kepada pihak lain (Dewi) maka terdakwa dan siswadi sudah tidak punya kuasa untuk membuat surat, tanda tangan, ataupun menghadap ke BPN. Pernyataan penasehat hukum tersebut juga dibenarkan oleh saksi.
Pada saat memberikan keterangan, saksi menyebutkan bahwa terdapat dokumen yang ditanda tangani oleh Ir. Tukidjo, MP sendiri. Namun keterangan tersebut dibantah oleh Ir. Tukidjo karena selama ini ia tidak pernah menandatangani berkas tersebut, dan apabila menandatangani berkas berkaitan dengan tanah selalu bertiga dengan Ir. Ken Suratiyah, MS dan Dr. Triyanto. Hal tersebut juga dipermaslahkan oleh penasehat hukum para terdakwa karena para terdakwa sudah memberikan kuasa ke pihak lain namun mengapa ada dokumen yang masih ditandatangani oleh terdakwa kalau memang betul itu tanda tangan Ir. Tukidjo, MP sendiri.
Reporter : Ria, Dzaky
Editor : Ezha