Sidang kasus dugaan korupsi aset UGM yang telah memasuki tahap kedua pemeriksaan saksi. Jawaban saksi masih menimbulkan tanda tanya besar mengenai kejelasan kasus bagi Hakim dan anggota persidangan. Saksi yang didatangkan Jaksa Penuntut Umum belum mampu menjelaskan keabsahan buku pepriksan dan letter C sebagai alat bukti yang menunjukkan hak atas tanah Plumbon milik UGM.
Tak seperti biasanya, persidangan kasus dugaan korupsi aset UGM kali ini diadakan lebih awal pada hari Senin, 15 Desember 2014 pukul 08.15 di Pengadilan Tipikor DIY. Agenda persidangan hari itu memasuki tahap kedua pemeriksaan saksi. Saksi yang dihadirkan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya satu ialah Warjono (Kepala Bagian Pemerintahan Desa Banguntapan sejak tahun 1990).
Diawal persidangan, Warjono mengaku tidak mengetahui perihal isi Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah Plumbon tahun 2006 persil 41 dan 42 yang dibuat oleh BPN Bantul. Meskipun perihal pengalihan tanah merupakan salah satu tugas pokok Kabag Pemerintahan Banguntapan, namun ia merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan surat ini. “Saya belum pernah melihat surat itu sebelumnya, baru lihat ketika di penyidikan. Karena kalau ada orang jual beli tanah di desa adalah melalui kepala desa atau notaris,” jelasnya. Bila ditinjau berdasarkan tugas pokoknya sebagai Kabag Pemerintahan Desa Banguntapan salah satunya adalah melaksanakan Administrasi pertanahan, contohnya peralihan hak tanah di Notaris. Tupoksi Warjono sebagai aparat terkait menjadikan alasan JPU menunjuknya sebagai saksi dalam persidangan ini.
Mengenai buku pepriksan dan letter C yang mencatat peralihan hak atas tanah, Warjono menyatakan baru mengetahui adanya perbedaan pengatasnamaan di kedua buku tersebut. “Saya baru tau ketika ditunjukkan, saat di Kejaksaan Tinggi,” ungkapnya. Dari barang bukti yang ada, kepemilikan buku letter C berbeda dengan buku papriksan. Pada letter C tertulis kepemilikan tanah diatasnamakan Yayasan Fakultas Pertanian UGM, dan pada buku papriksan tertulis Departemen Pendidikan Universitas Gadjah Mada.
Salah satu hakim anggota kemudian mengajukan pertanyaan kepada saksi, apabila terdapat perbedaan konten subjek pada buku pepriksan dan buku letter C maka buku mana yang akan digunakan sebagai acuan untuk memutuskan kepemilikan atau peralihan. Saksi menjawab tidak tahu. “Namun, buku letter C yang digunakan sebagai dasar acuan untuk membuat sertifikat tanah oleh BPN,” tambahnya.
Agustinus Hutajulu, kuasa hukum terdakwa menanyakan pendapat saksi mengenai keabsahan pepriksan bila data di dalamnya tidak lengkap. Saksi berpendapat bila buku pepriksan tidak ada atau tidak lengkap maka kejelasan dapat diperoleh dari dokumen lain, seperti surat pajak, kuitansi, dan lainya, sehingga dapat sebagai dasat membuat sertifikat tanah. Terkait pertanyaan keabsahan buku pepriksan, saksi tidak mampu menjelaskan dan mengaku tidak tahu menahu.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Saksi Warjono tanggal 08 April 2014 poin 17, menjelaskan bahwa yang perlu ada dalam buku pepriksan adalah nomor tahun, nama pemilik tanah asal dan nomor C asal, luas tanah, kelas tanah, nama yang menerima (pemilik baru), harga jual beli (kalau jual beli), polorogo, tanda tangan pemilik lama dan tanda tangan pemilik baru. Namun buku pepriksan yang dijadikan bukti dalam kasus ini tidak lengkap bila disesuaikan dengan pernyataan saksi, beberapa tanda tangan dan nama terang yang tidak ada.
Jawaban-jawaban saksi membuat anggota dan penonton persidangan menjadi risau. Beberapa penonton terlihat mengernyitkan dahi tanda ragu. Pasalnya, setiap keterangan yang disampaikan saksi mengesankan dirinya tidak tahu menahu mengenai urusan administrasi peralihan lahan di desanya. Bila mengingat jabatan saksi sebagai aparat pemerintahan Desa Banguntapan semenjak tahun 1990 dengan tupoksi (tugas, pokok, fungsi) melaksanakan administrasi pertanahan desa, tidak dimungkinkan dirinya tidak megetahui perihal tugasnya.
Mengenai hak pakai oleh pihak Fakultas Pertanian UGM, Warjono tidak tahu menahu, ia menuturkan bahwa yang menangani masalah itu adalah stafnya. Menurut pengamatannya selama menjabat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan Kelurahan Banguntapan, belum pernah muncul perselisihan terkait Persil 180. Warga sekitar lahan tersebut tidak mempertanyakan terkait Hak Pakai oleh Fakultas Pertanian UGM. “Sejak dulu lahan tersebut sudah diyakini oleh warga setempat sebagai milik Fakultas Pertanian UGM,” tandasnya.
Lahan Banguntapan yang digunakan untuk percobaan mahasiswa Fakultas Pertanian UGM telah menjadi salah satu daftar sitaan oleh Pengadilan Tipikor DIY. Lahan dengan sebutan Persil 180 tersebut sudah lama digunakan mahasiswa untuk kegiatan praktikum dan penelitian. Akan tetapi, lahan tersebut masih digunakan oleh mahasiswa sampai putusan akhir mengenai kasus tindak pidana korupsi yang menjerat sejumlah dosen. Warjono pun mengakui sampai saat ini lahan persil 180 masih digunakan keperluan praktek mahasiswa Fakultas Pertanian UGM. “Sejak tahun 90 an bahkan sejak bapak saya masih tukang ngarit lahan itu sudah jadi tempat praktek,” yakinnya.
Ditemui BPPM Primordia seusai persidangan, Agustinus Hutajulu menanggapi bahwa saksi banyak tidak tahu. “Tapi yang pasti dia buku pepriksan harus ditanda tangani pihak yang menyerahkan dan menerima. Di buku pepriksan yang diajukan jaksa tidak ada namanya, tidak ada tanda tangannya,” tandanya. Saksi dihadirkan karena terkait tupoksinya, namun ia menganggap selama persidangan jawaban saksi tidak cukup relevan.
Persidangan lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU akan dilanjutkan pada Selasa, 30 Desember 2014, di Pengadilan Tipikor DIY.
Penulis : Sandy, Eka, Eza, Dianah
Editor : Risma