Keputusan sela mengenai kasus pidana korupsi oleh keempat Dosen Faperta dilanjutkan dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi. Eksepsi atau keberatan terdakwa atas surat dakwaan dari penuntut umum tidak diterima oleh majelis hakim pengadilan negeri Tipikor, Yogyakarta. Majelis hakim menilai surat dakwaan penuntut umum telah sah dan memenuhi ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf a dan b.
Terdapat dua poin eksepsi (keberatan) yang diajukan terdakwa kepada majelis hakim yaitu 1) tentang perselisihan pra-yudisial, 2) tentang Surat Dakwaan penuntut umum tidak memenuhi syarat materiil sebagai suatu surat dakwaan menurut asal 143 ayat (2) huruf b KUHP karena tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Menanggapi eksepsi tersebut penuntut umum memohon kepada majelis hakim untuk 1) menolak eksepsi terdakwa dan penasehat hukumnya, 2) menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum sah dan memenuhi syarat sesuai dalam pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHP, 3) melanjutkan memeriksa dan mengadili perkara.
Selasa, 2 Desember 2014 kembali diadakan persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi empat dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Agenda hari itu adalah putusan majelis hakim menanggapi eksepsi terdakwa dan surat dakwaan penuntut umum. Dalam putusan majelis hakim disebutkan bahwa eksepsi yang diajukan oleh terdakwa dan penasehat hukumnya telah diatur dalam pasal 156 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”.
Dalam menanggapi poin pertama eksepsi, majelis hakim memutuskan bahwa penyelesaian tindak pidana korupsi tidak perlu menunggu keputusan sengketa perdata terlebih dahulu sesuai dalam UU no. 25 tahun 1999. Keputusan sengketa perdata yang dimaksud adalah menanggapi permohonan terdakwa dan penasehat hukumnya terkait sengketa tanah yang masih dipersidangkan di Pengadilan Negeri Bantul. Tanah sengketa tersebut belum dapat diketahui siapa pemilik sahnya, sehingga sesuai dalam pasal 81 KUHP sengketa perdata diselesaikan terlebih dahulu karena hakim pidana tidak dapat menetapkan siapa pemilik tanah tersebut.
Menurut majelis hakim (terkait eksepsi terdakwa dan penuntut umum poin kedua) yang dimaksut surat dakwaan penuntut umum yang tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap adalah penuntut umum yang menggunakan istilah tidak konsisten seperti pengalihan tanah dan pengalihan hak atas tanah, sehingga memberikan tafsir yang berbeda. Namun, dalam surat dakwaan penuntut umum dicantumkan identitas tanah seperti persil, maka dapat diketahui bahwa istilah yang tepat digunakan yaitu peralihan hak atas tanah, karena persil mengarah pada pengertian hak atas tanah.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh majelis hakim, telah diputuskan bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (1) dan (2) KUHP, pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHP dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, diputuskan seluruh nota keberatan atau ekspresi dari para terdakwa dan para penasehat hukum ditolak, surat dakwaan dari penuntut umum sah dan memenuhi ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf a dan b, dan memerintahkan pemeriksaan perkara tersebut dilanjutkan, serta menangguhkan biaya perkara tersebut sampai putusan hakim. Persidangan selanjutnya diadakan 9 Desember 2014, pukul 09.00 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta.
Penulis : Eza, Dianah, Sandy
Editor : Risma