Oleh : Nugroho Meidinata dan Sayyida Ikrima
“Sikap optimis dan gairah pembangunan sektor-sektor potensial seperti sektor perikanan yang berkelanjutan harus senantiasa dipupuk agar potensi besar yang dimiliki Indonesia tidak hilang begitu saja.”
Tepat pada tanggal 6 April, nelayan menjadi topik bahasan utama di pelosok permadani negeri ini. Kesejahteraan nelayan lagi-lagi menjadi poin penting dalam pembahasan Hari Nelayan tahun ini. Dengan melihat kondisi sumber daya alam di Indonesia, tidak bisa dipungkiri kekayaan yang luar biasa telah dimiliki oleh Indonesia. Tetapi, kondisi alam ini hanya tertidur tanpa dimanfaatkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini dimanfaatkan oleh investor asing yang menjadi pelaku utama dalam mengekploitasi sumber daya alam yang ada di negeri ini. Hal tersebut yang memperburuk kondisi pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Indonesia.
Kondisi tersebut juga terjadi di bidang perikanan dan kelautan. Padahal kondisi perairan yang tersedia di Indonesia dapat dimanfaatkan di bidang pariwisata, budidaya, dan perdagangan. Luas perairan di Indonesia tidak bisa dibilang kecil, menurut data terakhir yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan bahwa sekitar 70 % luas wilayah Indonesia adalah perairan. Selain itu, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Dengan melihat fakta tersebut seharusnya perairan Indonesia dapat dimanfaatkan oleh nelayan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Tetapi, realita yang terjadi adalah nelayan di seluruh Indonesia masih tetap tergolong tidak sejahtera dengan pendapatan rata-rata 30.000 / hari. Apakah ini sebanding dengan luasnya perairan Indonesia ?
Fakta lain menyebutkan bahwa konsumsi ikan di Indonesia selama kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami peningkatan, tetapi konsumsi ikan ini masih di bawah PPH (Pola Pangan Harapan), yaitu 31,40 kg/tahun. Tanpa disadari, dengan meningkatnya konsumsi ikan di Indonesia berarti kebutuhan ikan di Indonesia juga meningkat. Pemerintah dalam mengatasi meningkatnya kebutuhan ikan di Indonesia dengan mengimpor dari berbagai negara. Hal ini sangat tragis, melihat kebijakan pemerintah yang hanya impor menjadi solusi satu-satunya dalam mencukupi kebutuhan ikan di Indonesia. Berdasarkan data yang bersumber dari KKP, dari tahun 2008 hingga pertengahan tahum 2013, produksi perikanan Indonesia yang berasal dari tangkapan sebesar 32.901.139 ton. Hasil ini lebih kecil dibandingkan dari hasil budidaya yang sebesar 37.646.103 ton. Melihat data tersebut, produksi perikanan sudah begitu besar, tetapi mengapa pemerintah masih melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan di Indonesia ? Dengan total produksi sektor perikanan dari tahun 2008 sekitar 70 juta ton, pemerintah masih saja mengimpor ikan sebesar 1.906.472 ton dalam bentuk tepung ikan dan ikan beku.
Kondisi sektor perikanan Indonesia yang timpang juga terlihat dari kondisi nelayan. Keterpurukan nelayan di negeri kaya sumber daya laut ini salah satunya disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ketinggalan jauh dibanding SDM negara-negara tetangga yang cukup mumpuni untuk menghadapi persaingan global. Kondisi semacam ini diperparah dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering tidak tepat sasaran. Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan perikanan sering terlihat kurang sinkron dengan kalangan akar rumput bidang perikanan terutama dengan nelayan itu sendiri. Hampir sama fenomenanya seperti di bidang pertanian secara luas, kebijakan di bidang perikanan nampaknya tidak dibarengi dengan kajian penuh hingga ke akar rumput. Hal tersebut memperburuk keadaan dan akan terasa sia-sia kemudian karena tidak tepat strategi dan sama sekali tidak menyentuh sasaran.
Salah satu kebijakan yang dinilai kurang tepat adalah bantuan kapal berukuran 30 gross ton (GT) kepada ribuan nelayan. Yang menjadi masalah adalah masih banyak nelayan yang cakupan tangkapan ikan dan kemampuan teknisnya belum mumpuni jika harus memakai kapal berukuran sebesar itu. Dalam diskusi publik mengenai kesiapan bidang perikanan menghadapi Asian Economic Community (AEC) di Fakultas Pertanian pada Selasa (2/4) dalam rangka menyambut Hari Nelayan Nasional 6 April 2014, Andhika Rakhmanda, salah satu pembicara dalam diskusi yang juga mahasiswa Jurusan Perikanan mengumpamakan, nelayan kita hari ini masih terbiasa menggunakan sepeda onthel namun tiba-tiba diberi dan harus menggunakan bus besar dengan teknologi canggih. Menurut Dhika dan pembicara lain, kondisi ini memaksa nelayan untuk memakai teknologi yang belum dikuasai, hingga akhirnya kapal besar bantuan dari pemerintah malah mangkrak tak dioperasikan karena biaya operasional yang besar. “Bahkan saya pernah bertemu dengan nelayan yang menjual kapal kecilnya yang biasa dipakai untuk melaut guna membiayai perawatan kapal besar dari pemerintah tersebut”, ujar Dhika.
Dalam rangka memperingati Hari Nelayan Nasional pada 6 April 2014, mahasiswa Fakultas Pertanian mengadakan sebuah rangkaian kegiatan diantaranya diskusi pubik yang telah tersebut sebelumnya, serta aksi simpatik yang dilakukan Minggu (6/4). Aksi ini bersifat terbuka bagi seluruh mahasiswa UGM. Diskusi yang menghadirkan Suadi, dosen Jurusan Perikanan, serta Sumarwan, kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY sebagai pembicara, mengupas tentang kesiapan sektor perikanan Indonesia menghadapi AEC kelak. Asean Economic Community merupakan sebentuk program bersama negara-negara anggota ASEAN yang bertujuan menciptakan ekonomi yang terintegrasi. AEC yang diberlakukan mulai 2015 ini membentuk sebuah sistem pasar tunggal dimana antar negara anggota ASEAN tercipta sebuah perdagangan terbuka baik barang, investasi, jasa, modal dan tenaga kerja.
AEC 2015 sebenarnya menguntungkan bagi Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN. AEC membentuk suatu sistem yang memudahkan produk dari Indonesia bisa terjual dengan jangkauan lebih luas, membukakan jaringan atau link dengan berbagai pihak di luar negeri untuk menciptakan kerjasama yang menguntungkan, serta dapat dijadikan jalan mengembangkan potensi yang ada terutama dalam bidang ekonomi untuk penguatan dalam negeri. Namun AEC juga memiliki sisi yang merugikan bagi Indonesia. Lebih tepatnya bisa disebut sebagai ancaman bagi Indonesia. Dalam praktek AEC nantinya, tentu tiap negara yang terlibat, terutama Indonesia, dituntut memiliki daya saing yang kuat. Potensi saing dari suatu negara dapat dilihat dari kualitas produk yang dihasilkan. Produk tersebut meliputi kesiapan dan kemampuan SDM untuk sektor ketenagakerjaan, kualitas barang dan layanan serta kemampuan mengolah atau menginovasikan suatu produk yang sudah ada menjadi produk baru yang lebih bernilai atau lebih dibutuhkan konsumen. Apabila tuntutan seperti yang tersebutkan tidak mampu diimbangi atau tidak dimiliki oleh Indonesia, tentu akan sangat beresiko karena segala kesempatan yang Indonesia belum sempat isi akan dengan mudah diambil oleh negara lain.
Nelayan Indonesia saat ini pada dasarnya memiliki kualitas SDM yang masih rendah. Sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta masih jauh dari pendidikan non formal atau semacam bimbingan-bimbingan yang berkaitan dengan bidang yang mereka geluti. Dari segi sikap, sebagian nelayan Indonesia cenderung bertahan dengan kondisi semula dan jarang berinisiatif untuk berinovasi guna mendukung kinerjanya. Dari sini bisa dilihat bahwa SDM nelayan nampaknya masih belum siap jika harus berhadapan dengan sistem yang dibentuk AEC pada 2015.
Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki wacana lebih jauh dalam hal pembuatan kebijakan yang bersentuhan langsung dengan nelayan. Seperti yang didiskusikan dalam diskusi publik menjelang peringatan Hari Nelayan Nasional lalu, para pembicara sepakat bahwa pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan yang mengakar rumput agar tidak menimbulkan masalah baru. Kebijakan mengakar rumput ini harus disertai dengan pengkajian lebih dalam masalah yang dihadapi nelayan dan apa sebenarnya solusi yang diperlukan. Selain saran mengenai kebijakan untuk pemerintah yang diutarakan pembicara, Sumarwan, salah satu pembicara dalam diskusi juga menyinggung mengenai peran mahasiswa untuk kesiapan nelayan menghadapi AEC 2015. Sumarwan mengatakan bahwa peran mahasiswa adalah mendampingi nelayan agar kondisinya bisa lebih baik. Kemudian solusi lain yang dilontarkan dalam diskusi untuk menyongsong kesiapan sektor perikanan adalah dengan mengaktifkan dan mengoptimalkan koperasi nelayan atau organisasi-organisasi semacamnya yang bisa menguatkan dan memberdayakan nelayan.
Dari diskusi publik yang dilaksanakan di Ruang Seminar lantai 3 Gedung A1 Fakultas Pertanian UGM tersebut, dapat dilihat bahwa sektor perikanan dan kelautan Indonesia bisa menghadapi AEC 2015 dengan syarat perbaikan dalam berbagai hal. Perbaikan tersebut terutama dalam hal sumber daya manusia dan kebijakan-kebijakan pemerintah harus efisien. Dengan sumber daya alam terutama hasil laut dan potensi budidaya ikan darat yang bagus, tentu dapat menjadi harapan bagi Indonesia untuk bisa menempati posisi istimewa dalam kancah AEC 2015. Sikap optimis dan gairah pembangunan sektor-sektor potensial seperti sektor perikanan yang berkelanjutan harus senantiasa dipupuk agar potensi besar yang dimiliki Indonesia tidak hilang begitu saja.