Oleh : Arintya Putri F.
Terkadang semua tak seperti
Cerita lucu didalam komedi
Yang menggambarkan hidup tertawa lepas dan berhenti
Biar hidup terkadang membosankan laluilah semua dengan senyuman
Biarkanlah itu mengalir apa adanya…
Potongan lirik lagu diatas memang tak sepenuhnya benar dan tak sepenuhnya salah. Hidup memang tak selalu seperti cerita komedi dengan lepasnya bisa tertawa, namun hidup juga terkadang menyenangkan jika mengingat akan arti perjuangan. Hidup berjalan dalam rotasinya. Begitu pula dengan rotasi kehidupanku yang baru saja mengalami masa transisi.
***
“Bang, aku harus gimana? Uang dari mamak buat makan saja tak cukup, apa lagi buat ganti alat itu,” aku menumpahkan keluh kesahku pada Bang Johan, teman satu kampung halaman di Medan.
“Memang berapa harga alat yang kau pecahkan itu?” Bang Johan sedikit menggeser duduknya.
“Kalau aku katakan sama abang, mungkin abang tak kan percaya,” ujarku.
“Alah, paling cuma tabung reaksi, kan? Kau beli saja ditoko dekat lampu merah itu, Paling harganya tak sampai dua puluh ribu,” kata Bang Johan.
“Kalau cuma tabung reaksi aku tak sampai malam-malam datang ke kontrakan abang seperti ini,” aku menyandarkan bahu ke tembok, berharap kedatanganku ke kontrakan Bang Johan bisa sedikit menyandarkan masalahku ini.
“Lalu berapa?”
“Kata yang jaga laboratorium, harganya sekitar satu jutaan. Gila kan, bang? Dari mana aku dapat duit sebanyak itu?” jelasku pada Bang Johan.
Bang Johan terdiam.
“Dan, bukannya abang tak mau bantu kau dalam masalah ini, tapi duit abang juga pas-pasan. Aku saja sudah nunggak uang kontrakan dua bulan. Abang juga pusing ini. Kau kan sekarang sudah jadi mahasiswa, coba belajar mengatasi masalahmu sendiri,” kata Bang Johan.
Bang Johan benar, aku harus mengatasi masalahku sendiri. Rasanya malu kalau terus-terusan minta kuit ke mamak.
***
“Ada yang bernama Dani disini?” suara asisten laboratorium memecah keheningan saat kami baru mempersiapkan prestest.
Semua orang, termasuk aku, acuh tak acuh dengan hal tersebut dan memilih tetap fokus pada lembaran materi yang belum habis kubaca.
“Ada yang bernama Dani disini?” lagi, asisten berkacamata itu bertanya.
Hening. Tak ada satupun yang bersuara saat penjaga laboratorium berjalan mendekati asisten dengan membawa alat Calsimeter yang sudah menjadi dua. Pecah.
“Saya, Kak!” aku yang sedari tadi diam, kini memilih untuk buka suara.
“Setelah praktikum temui saya diruangan. Ada sesuatu yang harus anda jelaskan,” asisten tersebut membawa pecahan alat Calsimeter masuk ke ruangan.
***
“Bisa dijelaskan kenapa alat ini bisa pecah minggu lalu?” satu pertanyaan yang membuatku kaget terlontar dari asisten berkacamata tadi.
Aku belum mau menjawab. Mataku asyik menerobos pandang kearah alat Calsimeter yang pecah itu disudut ruangan.
“Kami punya bukti kalau kamu yang terakhir memakai alat tersebut minggu lalu,” asisten yang satunya ikut menambahi.
Mereka mengeluarkan lembaran dari map, dari sini aku bisa melihat lembaran tersebut adalah checklist pemakaian alat laboratorium.
“Disini tertulis nama kamu pada pemakaian alat laboratorium meja 2. Tanda tangan selesai pemakaian juga ada. Kami hanya perlu jawaban ya atau tidak,” asisten berkacamata itu menunjukkan tulisan namaku dan tanda tangan yang minggu lalu memang aku bubuhkan disana.
“Itu memang tulisan dan tanda tangan saya, Kak. Tapi saya tidak tahu kenapa alatnya pecah. Setahu saya, minggu lalu selepas saya pakai, alatnya masih utuh,” jelasku.
“Setahu saya juga, alat ini tidak akan pecah dengan sendirinya didalam laci meja.”
Aku baru tersadar, minggu lalu aku memutar bagian penutupnya terlalu keras. Mungkin itulah yang menyebabkan bagian penutup Calsimeter menjadi pecah.
“Tolong diganti ya, kamu yang pakai kamu yang bertanggung jawab,” ujar para asisten dengan wajah biasa.
“Tolong kasih saya waktu, Kak.” pintaku.
“Baiklah, sebelum ujian akhir semester harus sudah diganti. Sekitar empat bulan lagi…”
***
Waktu tenggang yang diberikan untukku mengganti alat itu tinggal empat bulan lagi. Ya, empat bulan. Apa yang bisa kulakukan dalam waktu empat bulan?
“Dani!” sebuah suara sukses membuat lamunanku buyar.
Andiman, masih dengan kardus berisi dagangan donatnya, datang menghampiriku. “Eh, kau, Man,” aku hanya tersenyum simpul melihat kehadirannya siang itu.
“Masih mikirin Calsimeter?” Andiman dengan suara khasnya membuka pembicaraan.
Aku hanya menangguk pelan.
“Memang berapa harganya, Dan? Kalau cuman dua puluh ribu, ini aku ada,” kata Andiman sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan kumal.
Aku menoleh ke Andiman, tersenyum simpul padanya.
“Tak usah, Man. Kau simpan saja duit itu,” kataku sembari menepuk pundak Andiman.
Bukan Andiman namanya jika ia masih belum menemukan jawaban.
“Jujur saja, Dan. Berapa harga Calsimeternya?”
Aku menghembuskan nafas dalam.
“Satu jutaan.”
Sedetik kemudian suasana berubah hening.
“Dan?”
“Hm?”
“Mau jualan donat?” tiba-tiba Andiman bertanya.
“Kau kan udah jualan donat, Man. Tak maulah aku menyaingi jualanmu,” jawabku tidak enak pada Andiman.
“Bukan, bukan gitu. Kamu yang gantiin aku jualan.”
“Tak usah, Man. Nanti kau jualan apa kalau aku yang gantikan kau jualan donat ini?” aku semakin tidak enak padanya.
“Dan, nggak apa-apa. Aku nanti bisa jualan susu lagi,” Andiman mencoba meyakinkanku.
“…”
***
“Donat donat! Ayo yang belum makan, ngemil dulu donatnya!” aku mulai menjajakan donat tersebut diwilayah kampus. Mulai dari Gedung Sosek hingga ke Gazebo.
***
Aku terduduk sendiri di Gazebo. Ini adalah hari ketujuh aku berjualan, namun sejauh ini dagangannya selalu sisa lumayan.
“Apa aku cari kerja lain?” aku berpikir untuk mencari pekerjaan lain.
Memang tak mudah untuk berjualan, apa lagi aku sama sekali tidak mempunyai basic untuk berjualan. Saat kulihat jam dipergelangan tanganku, aku baru sadar bahwa sebentar lagi kumandang adzan akan terdengar. Buru-buru aku melangkah untuk segera pulang ke kontrakan.
***
“Man, sepertinya aku tidak bisa melanjutkan jualan lagi.” kataku saat baru saja menginjakkan kaki di kontrakan.
“Kenapa, Dan? Belum habis semua dagangannya?”
Aku mengangguk,”Sepertinya aku tak bakat jualan. Beda sama kau, Man.”
“Nggak perlu bakat, yang penting usaha.”
Dan perkataan Andiman barusan berhasil menyadarkanku. Usaha. Ya, selama ini usahaku untuk mengganti Calsimeter memang belum begitu maksimal. Masih kalah dengan rasa takut akan kegagalan.
***
Tak terasa empat bulan berlalu. Tak terasa pula aku masih setia dengan dagangan ini. Hari ini aku berencana membuka toples tabungan yang kusimpan rapat didalam almari.
“Man, tolong kau bantu aku hitung uang yang ada dalam toples ya,” pintaku.
Kini Andiman yang mengangguk.
Kami berdua menghitung pundi-pundi hasil perjuangan itu dalam diam. Tak bisa ku elakkan bahwa ada rasa takut jika tabunganku itu masih belum cukup untuk mengganti Calsimeter yang kupecahkan.
“Tujuh ratus dua puluh ribu, Dan!” kata Andiman senang.
Aku menelan ludah. Masih butuh sekitar tiga ratus sampai empat ratus ribu lagi kataku dalam hati.
Aku kembali menghitung lembaran-lembaran kumal yang ada ditangan.
“Man, lima ratus delapan puluh ribu…”
***
Memang benar, hidup tak selalu indah seperti cerita komedi. Hidup juga terkadang menyenangkan jika mengingat akan arti perjuangan. Selama sekitar empat bulan, menikmati hidup dengan perjuangan, kurasakan sangat menyenangkan. Sebuah Calsimeter dan pengalaman berharga akan tanggung jawab menjadi buah dari perjuangan yang kulakukan.