Oleh : Sandy Pandawa
(gambarnya dikasih keterangan dianah prim po gimana gitu yaa J)
Cahaya senja mulai memasuki sudut warung, menerobos celah demi celah dinding bangunan sederhana yang terbuat dari bambu itu, seakan ingin ikut menemani obrolan di dalamnya yang memang terkadang arah pembicaraannya ngalor-ngidul. Entah siapa yang menemukan topik duluan, bahan obrolan apapun tetap bisa nyambung. Mulai dari masalah sapinya Pak Karman yang melahirkan seekor anakan dengan 3 pasang kaki sampai masalah pelik perpolitikan negeri ini.
“Hahh..! Buat apa kuliah di pertanian!” cetus salah seorang lelaki tua dengan mulut setengah penuh mengunyah gorengan. “Lha wong sekarang udah jamannya pembangunan, Nak,” ia mengarahkan perbincangan setelah mendengar Doni menyinggung kelanjutan pendidikannya.
Mendengar ucapan ayahnya tadi, Doni hanya terkekeh memandangi satu persatu para lelaki paruh baya yang memenuhi warung milik Bu Jum. “Mau jadi apa ya, Pak?” Doni pun bertanya dengan nada sedikit memancing.
“Begini lho Nak, kamu kan anak yang pandai, lihat prestasi mu dari dulu sampai sekarang. Apa kamu ga sayang sama semua yang sudah kamu raih itu?”
“Maksudnya apa ya, Pak ?” sahut Doni cepat. Pertanyaan yang menurut Doni terlalu aneh untuk ditanyakan pada dirinya.
“Lah, apa kamu ga pilih jadi arsitek saja, Bapak lihat kamu begitu berbakat di bidang itu. Nanti kamu juga bisa kaya dari situ. Bapak dengar-dengar, sekali dapat proyek langsung dapat honor banyak,” terang Pak Rusman sembari sesekali meniup secangkir Kopi Toraja panasnya.
Dengan rasa khawatir jikalau perkataannya akan menyakiti perasaan lelaki tua yang dihormatinya itu, Doni pun menjelaskan dengan sangat hati-hati. Pilihannya untuk menuntut ilmu di bidang pertanian bukanlah sebuah pilihan yang sembarangan. Sudah sejak jauh hari Doni memikirkan akan pilihannya tersebut.
“Begini saja Pak, gorengan yang Bapak makan itu asalnya dari apa, Pak?” tungkas Doni. “Bukankah itu dari hasil bertani Pak Min, tetangga sebelah?” Belum sempat para lawan bicaranya menjawab, Doni menambahkan lagi. “Pak Min dulu pernah bercerita, betapa susahnya bertani sekarang. Bahkan untuk menjual hasil panenpun terkadang masih sulit karena kualitasnya kalah jauh dibanding dengan yang impor. Maka dari itu, aku ingin sekali kuliah di Fakultas Pertanian. Lalu, ilmu yang ku peroleh bisa ku salurkan untuk menciptakan sesuatu yang dapat memajukan pertanian negeri ini,” terang Doni mengakhiri argumennya.
Selang beberapa saat, semua terdiam, menyelami jauh ke dalam arah pembicaraan tadi. Satu-satunya yang mengisi kesunyian yakni suara penyiar yang terdengar dari speaker radio butut milik Bu Jum.
“Iya, Nak…!” tiba-tiba suara Bapaknya mengagetkan semua orang yang ada.
”Negeri ini butuh anak-anak muda yang semangat dan pemikirannnya seperti kamu. Lihatlah negeri ini, dari tahun ke tahun makin banyak saja penduduknya. Terus mau dikasih makan apa mereka semua? Batu?” celotehan lelaki tua itu seketika disambut gelak tawa oleh seisi warung.
Ia pun melanjutkan perkataannya dengan menggebu, “Aku jadi ingat petikan pidatonya Bung Karno dulu. Kalau ga salah seperti ini, Pertanian adalah masalah hidup atau mati. Iya tidak, Don ?”
Kalimat Pak Rusman tadi sepertinya sukses menciptakan suasana warung menjadi semakin heroik. Entah, mungkin ada kekuatan magis di dalamnya hingga membuat mereka malah jadi membicarakan perjuangan tempo dulu, sampai model penjajahan sekarang dengan merasuki kebiasaan anak muda yang menjadikannya semakin aneh. Pak Rusman juga menjelaskan, bahwa ternyata respon tidak setujunya tadi hanya sebatas menguji seberapa besar niat anaknya itu untuk kuliah di pertanian. Karena menurutnya, niat dan semangat yang setengah-setengah hanya akan menghasilkan sesuatu hal yang tidak ada nilainya.
Keesokan hari, bertepatan seminggu sebelum merantau untuk kuliah, Doni menemui Sarah yang sedang asyik menyiapkan bahan fermentasi untuk acara workshop yang akan mereka adakan. Doni dan Sarah bersahabat semenjak duduk di bangku SMA. Mereka berdua sangat senang mencoba hal-hal baru atau sekedar mempraktekan teori-teori yang mereka pelajari secara otodidak.
“Wei heiii…! ini dia arsitek pertanian kita!” teriak Sarah. Meski jarak mereka berdua hanya 1 meter.
“Hah..? kamu ini Sar. Arsitek yo arsitek, kalau pertanian yo pertanian. Apa-apaan kamu ini pakai ngecampurin segala?,” elak Doni, karena baru saja mendengar akulturasi kata yang aneh.
Sambil tertawa Sarah menjelaskan, “Kau ini kan yang bakal merancang pertanian negeri ini. Dan aku yakin, kau bakalan menggebrak dunia dengan pertanian Indonesia yang lebih maju.”
“Aku ?” tanya Doni. “Bukannya kita berdua ya? Hahaha.”
“Okelah, ku terima tawaran sebagai mitra perjuanganmu, Don!” seru Sarah.
“Nah gitu dong, aku kan butuh ide-ide nyleneh-mu untuk kita kerjain bersama-sama. Siapa tau entar kita bisa nemuin sesuatu hal yang bermanfaat, ya ngga?” ungkap Doni.
“Eittsss..!! bilang aja Don kalau ga mau jauh-jauh dari aku,” Sarah setengah menggoda sembari melirik ke arah Doni.
“Hmmm…,” Doni pun kewalahan merespon perkataan Sarah tadi. “Eh, gimana Sar, persiapan buat workshop fermentasi pakannya ?” Doni mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sarah dengan ekspresi ketus menunjukkan bahan-bahannya, “Sudah nih, tinggal besok langsung ke peternakan kambingnya.”
Pada saat acara dimulai, ternyata banyak peserta yang hadir. Mereka begitu antusias mengikuti tahap demi tahap penjelasan dari Doni. Banyak sekali yang bertanya tentang manfaat terhadap produksi susu kambingnya, baik kualitas maupun efek bagi si kambingnya sendiri. Sarah membantu untuk menyiapkan segala keperluan. Sesekali melirik ke arah Doni, tersenyum kecil dan begitu bangga bisa membantu segala hal positif untuk orang-orang di sekitar mereka. Mereka puas atas semua yang telah mereka lakukan.
Hari-hari menjadi mahasiswa pun mulai memenuhi jadwal keseharian keduanya. Banyak hal baru yang mereka dapatkan. Mereka tak tanggung-tanggung dalam melakukan segalanya, jalan kehidupan sudah mereka hidupkan. Tidak memilih pasif dan kemudian tak memiliki karya atau peran apa-apa di dalamnya. Bahkan gagasan-gagasan baru mereka sampaikan untuk mengatasi masalah yang muncul. Menggebrak tradisi orientasi belajar lama mereka yang pada mulanya untuk dirinya sendiri, ke suatu arah yang dapat bermanfaat untuk sesamanya. Arah yang mereka yakini lebih baik dari sebelumnya.
Kebiasaan lama mereka untuk selalu mempraktekan maupun meneliti tentang ide-ide aneh tetap saja dilakukan. Bahkan dengan fasilitas kampus yang ada, malah membuat ide-ide aneh mereka semakin menjadi-jadi. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana hal-hal yang mereka lakukan itu dapat bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Bahkan hari liburan mereka banyak dihabiskan beserta para sahabatnya untuk silaturahmi serta berbagi ilmu secara langsung kepada punduduk yang tinggal di daerah terpencil.
Apa saja yang dapat mereka perbuat untuk membantu kondisi penduduk di daerah itu, akan tetap diusahakan. Mulai dari menghubungkan produk hasil usaha penduduk tersebut ke pasar. Bahkan membuatkan proposal untuk diajukan kepada para pemilik modal atau bank agar usaha produksi dapat kian berkembang. Mereka sangat menghargai para petani. Sosok yang mengusahakan pangan bagi hidup mereka selama ini.
Note : 1. Hidup haruslah bermanfaat bagi sesama.
2. Beranilah untuk hidup, karena hidup haruslah berarti.
3. Keyakinan.