Kata “bioterorisme” mengacu pada agen biologis (mikroba atau racun) yang digunakan sebagai senjata untuk menyerang individu atau lembaga lain yang memiliki tujuan politik. Bioterorisme berbeda dari metode terorisme lain karena bahan yang diperlukan untuk membuat agen biologis yang efektif sudah tersedia, hanya memerlukan sedikit pengetahuan khusus dan murah untuk diproduksi. Pada banyak kasus bioterorisme lebih banyak menyerang kesehatan manusia, namun disisi lain sasaran bioterorisme juga dapat menyerang hewan dan tanaman yang berakibat pada ketahanan nasional.
Bioterorisme pada bidang pertanian merupakan gangguan yang menyerang kesehatan tanaman ketika fase produksi dari pembibitan hingga panen. Hal tersebut biasa dikenal dengan agroterorisme. Dampak dari agroterorisme yaitu terganggunya kestabilan ketahanan pangan nasional sehingga mengakibatkan bencana kelaparan dalam skala besar. Terlebih jika agroterorisme tersebut menyerang bahan pangan pokok suatu negara.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka suatu negara harus bersiap dan waspada terhadap ancaman agroterorisme. Aksi yang dapat dilakukan baik secara internasional maupun nasional adalah melalui lembaga karantina. Pada skala internasional lembaga karantina yang dibawahi oleh FAO adalah IPPC (International Plant Protection Convention). Sedangkan pada skala nasional, setiap negara memiliki badan karantina pertanian. Di Indonesia sendiri, memiliki 52 kantor pelayanan badan karantina pertanian yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Selain melalui lembaga karantina, aksi yang dapat dilakukan sebagai wujud langkah dini menghadapi agroterorisme yakni dengan diversifikasi pangan[2].
Kasus bioterorisme pertama kali terjadi di Amerika serikat pada tahun 1984 yang menyerang kesehatan manusia. Saat itu sekte Budha menyebarkan bakteri yang dimasukkan dalam makanan kepada jaksa, dokter, dan dokter gigi untuk merebut kendali pemerintahan. Sedangkan agroterorisme pernah hampir terjadi di Indonesia, yakni masuknya benih padi secara ilegal namun berhasil digagalkan oleh balai besar karantina Indonesia. Setelah diuji Laboratorium, benih padi tersebut mengandung patogen berbahaya yaitu Dickeya Chrisanthemi. kasus serupa juga pernah terjadi di Bogor akhir 2016 pada tanaman cabai dan wortel. penemuan ribuan batang tanaman cabai yang mengandung bakteri Erwina Chrysanthem menyebabkan gagal panen. Awalnya bakteri tersebut hanya berada di wilayah Cina lalu masuk ke Indonesia melaui penyelundupan benih dari Tiongkok. sejumlah media juga pernah memberitakan ada tanaman wortel di Dieng, Jawa Tengah, yang bisa berpengaruh buruk atas perkembangan mental anak yang mengonsumsinya. Bibit wortel itu juga konon diselundupkan dari Tiongkok[1].
Berdasarkan kasus-kasus diatas, agroterorisme sangat perlu diwaspadai dan dipersipakan pencegahanya oleh pemerintah. Tak hanya pemerintah, tetapi masyarakat juga ikut berperan aktif dalam bersiap menghadapi ancaman tersebut. Sebagai mahasiswa, wujud nyata yang bisa dilakukan adalah meningkatkan rasa peduli terhadap tanaman yang sakit. Selain itu , membiasakan diri tidak bergantung pada satu bahan pangan pokok seperti beras cukup berperan dalam mengantisipasi dampak agroterorisme (hnd,ya,ap/er).
Sumber :
[2]karantina.pertanian.go.id