Diskusi publik dalam peringatan hari nelayan (8/4) diadakan atas kerjasama antara DEMA, KMIP dan KAB. Diskusi tersebut mendatangkan tiga narasumber, yaitu Lalu M. Syafriadi selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Bambang Wicaksana Widjanarko selaku Ketua Front Nelayan Bersatu dan Djumanto selaku Dosen Departemen Perikanan UGM serta moderator Kautsar Fahreza selaku Kepala Biro Kajian dan Keilmuan DEMA. Tema diskusi yang diusung yaitu “Pelarangan Cantrang, Dilema Ekologis dan Ekonomis”.
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas dengan dominasi perairan. Selain memiliki julukan negara agraris, Indonesia juga dijuluki negara maritim. Negara maritim berarti pandangan masyarakatnya berorientasi kepada lautan. Sebagai negara dengan perairan yang luas pastinya memiliki potensi besar khususnya perikanan tangkap. Maka dari itu perlu dipahami bahwa laut bersifat open access dan common property. Laut itu terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya dan laut adalah milik bersama. Adanya pemahaman seperti itu membuat laut sangat bebas untuk dieksplorasi dan akhirnya terjadi penangkapan ikan berlebihan atau overfishing. Penangkapan ikan perlu dibatasi melalui berbagai cara sehingga overfishing tidak terjadi.
Perikanan tangkap, menurut namanya berarti menangkap ikan menggunakan suatu alat bantu. Ikan di laut merupakan milik umum, namun ketika telah ditangkap oleh seseorang maka ikan tersebut adalah milik orang itu. Penangkapan memiliki pendekatan tersendiri dalam pengelolaannya agar dimasa depan masih tersedia ikan di laut. Pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kedaulatan, keberlanjutan dan kemakmuran. Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini memilih untuk menggunakan pendekatan keberlanjutan. Keberlanjutan disini diartikan sebagai dampakl pengelolaan dimasa kini akan mempengaruhi masa depan. Sifat sumberdaya ikan yang ada di laut adalah renewable atau terbarukan, tetapi jika pemanfaatan ikan saat ini berlebihan maka generasi masa depan tidak akan dapat menikmati sumberdaya alam ini.
Umumnya nelayan menggunakan alat tangkap berupa jaring besar yang disebut cantrang. Alat tangkap ikan tersebut berupa jaring raksasa yang dilepaskan kedalam perairan dan ditarik menggunakan kapal sehingga ikan-ikan akan terjaring. Cara pengoperasiannya cukup mudah yaitu jaring diturunkan mengelilingi gerombolan ikan atau schooling fish yang telah ditentukan lokasinya. Ketika dirasa ikan telah terperangkap jaring cantrang maka tali utama digulung agar naik ke kapal. Hasil tangkapan menggunakan cantrang ini beragam, ikan apa saja dan ukuran berapa saja tertangkap. Menurut pendapat Djumanto disela-sela pemutaran video penangkapan ikan dengan cantrang, ikan yang ditangkap memiliki ukuran yang berbeda mulai dari yang kecil hingga besar dan juga jenisnya beda.
Awal tahun tepatnya 1 Januari 2017 menjadi waktu yang berat bagi para nelayan khususnya mereka yang menggunakan cantrang sebagai alat tangkapnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberlakukan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seinen net). Cantrang sendiri masuk kedalam kategori tersebut, sehingga penggunaannya kemudian dilarang oleh pemerintah. Sebelumnya penggunaan cantrang masih diperbolehkan hingga 1 Januari 2017 dan setelah itu sudah dilarang. Alasan pelarangan alat tangkap tersebut adalah potensi rusaknya ekosistem akibat pemakaian cantrang. Cantrang termasuk kedalam alat tangkap yang non selective yakni menangkap semua ikan tanpa adanya seleksi. Ikan-ikan kecil yang seharusnya tumbuh menjadi dewasa kemudian bertelur kembali malah tertangkap jaring cantrang sehingga populasi ikan semakin menurun karena tidak memiliki kesempatan untuk beregenerasi.
Bambang selaku Ketua Front Nelayan Bersatu yang menjadi narasumber memperlihatkan sebuah tayangan video. Isi dari video tersebut yaitu penolakan pelarangan alat tangkap cantrang yang dilakukan oleh banyak nelayan. Nelayan yang merasa dirugikan dengan adanya Peraturan Pemerintah, menanyakan soal kebijakan yang diturunkan oleh Menteri Susi. Diceritakan bahwa banyak nelayan yang kehilangan mata pencaharian satu-satunya karena peraturan baru tersebut. Selain itu juga nelayan protes mengenai sosialisasi pelarangan cantrang yang dinilai tidak menyelesaikan masalah.
Melihat dari sisi akademis, Djumanto menjelaskan bahwa terdapat jumlah maksimal suatu sumberdaya dapat dimanfaatkan. Dalam hal ini adalah ikan yang ditangkap memiliki batasan sendiri yang bertujuan untuk mempertahankan populasi mereka. Pelarangan alat tangkap cantrang sebenarnya masih dapat diubah melalui kajian ilmiah sehingga lebih meyakinkan bahwa dampaknya nyata. Cantrang dapat dioperasikan misalnya dengan syarat-syarat tertentu ataupun pembatasan jumlah penangkapan tiap kapal atau tiap wilayah perikanan.
Penerapan kebijakan pelarangan cantrang dianggap sebagai solusi paling baik oleh pemerintah untuk menjaga kelestarian alam, namun realita yang ada dimasyarakat khususnya nelayan tidak selaras dengan tujuan itu. Nelayan yang notabene telah bertahun-tahun menggunakan cantrang sebagai senjata pamungkas belum siap untuk sepenuhnya beralih menggunakan alat lain. Banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan pemerintah sehingga kebijakan yang diambil tidak saling merugikan. Jika kebijakan itu tidak selaras dengan realita yang ada, baiklah rakyat meninta pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut.
So, bagaimana pendapat kengkawan Primordia? Apakah penerapan kebijakan ini dapat dianggap sebagai solusi untuk menjaga populasi ikan di laut? Atau, kebijakan ini malah merugikan nelayan kita? Let’s open our mind once more.
Reporter : Anas, Jito
Fotografer : Jito
Editor : Juki