Jumat (1/4) kemarin, telah dilaksanakan diskusi publik yang merupakan rangkaian acara peringatan Hari Nelayan. Diskusi publik yang mengangkat tema “Apa kabar nelayanku, sudah sejahterakah dirimu?” tersebut diprakarsai oleh DEMA Faperta, Klinik Agromina Bahari (KAB), dan Keluarga Mahasiswa Ilmu Perikanan (KMIP). Diskusi publik ini merupakan follow up dari analisis sosial yang sebelumnya telah dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Sadeng pada Jumat (25/3) lalu. Diskusi dimoderatori oleh M. Naufal Dzaky (Perikanan 2013) dengan tiga orang pembicara yakni, M. Atif (Perikanan 2012), Murwantoko (Kepala Departemen Perikanan UGM), dan Sumarwan Partosuwiryo (Kepala Dinas Kelautan Perikanan DIY). Tidak hanya dari Departemen Perikanan, diskusi ini juga dihadiri oleh mahasiswa departemen lain di Faperta.
Selama diskusi, selaras dengan tema yang diusung, banyak membahas tentang keadaan nelayan lokal maupun Indonesia saat ini. Nelayan Indonesia identik dengan kemiskinan, kekurangan, dan jauh dari kemakmuran. Akan tetapi, paradigma tersebut berhasil dibantah oleh Suwarman yang menyatakan bahwa sebenarnya kondisi nelayan tidak seperti itu, terutama di Yogyakarta. Kenyataan yang terjadi di lapangan, nelayan-nelayan lokal memiliki pendapatan yang sangat memadai. “Nilai Tukar Nelayan (NTN) untuk tahun 2015 sebesar 106, nilainya jauh di atas rata-rata NTN Indonesia. Nilai yang lebih dari 100 ini mengindikasikan nelayan kita untung,” tegas Suwarman. Selain itu, pemerintah sendiri sudah memutar kendali untuk menjadikan pantai di kawasan selatan sebagai “halaman depan” dan pusat pertumbuhan perekonomian dibidang perikanan.
Permasalahan yang DihadapiNelayan
Nelayan kita yang sudah dikatakan berkecukupan tentu tidak terlepas dari berbagai masalah. Secara pendapatan mungkin memang sudah tidak menjadi masalah, namun secara kualitas tidak bisa dipungkiri masih sangat kurang. Nelayan Indonesia sebagian besa rmerupakan nelayan tradisional. Metode serta perlengkapan yang digunakan pun masih belum modern. Selain itu, keterbatasan modal juga menghalangi nelayan kita untuk berkembang. Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang rendah menambah masalah yang ada. Lamanya waktu melaut tidak sebanding dengan kualitas hasil yang diperoleh. Di samping itu, masalah yang sampai saat ini masih membayangi nelayan adalah dokumen-dokumen tentang kapal dan surat izin usaha yang sulit proses perizinannya.
Masalah perizinan sangat memberatkan nelayan karena proses pengurusan yang lama dan nelayan tidak bisa melaut tanpa kelengkapan surat. Mengurus surat kelengkapan kapal diakui tidak mudah dan membutuhkan proses yang panjang. “Mengurus surat perizinan kapal tidak seperti mengurus surat perizinan mobil,” ujar Suwarman. Menanggapi hal tersebut, solusi yang diberikan oleh Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) DIY adalah menyediakan fasilitas pengumpulan kolektif untuk kapal dibawah lima gross ton. Selain itu, perpanjangan perizinan bisa dilakukan secara online dengan syarat tiga bulan sebelum masa berlaku Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) habis. Jika terlambat akan mempersulit nelayan itu sendiri.
UpayaMenanganiPermasalahanNelayan
Pemerintah melalui KKP DIY telahm engupayakan beberapa usaha untuk menangani permasalahan yang dihadapi nelayan. Upaya sosialisasi di kampung nelayan telah dilakukan secara menyeluruh pada semua bidang, seperti pendayagunaan masyarakat dan sosialisasi peraturan penangkapan. Selain sosialisasi, pelatihan keterampilan non penangkapan juga digalakan oleh KKP. Bantuan sosial seperti sarana penangkapan ikan dan bantuan kapal juga diberikan kepada nelayan. Tidak hanya bantuan materi, KKP juga memberikan jaminan perlindungan keluarga nelayan, saran pemasaran dan teknologi.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah setidaknya membuat nelayan DIY meningkat taraf hidupnya. Hal tersebut akan berjalan lancar jika sikap nelayan kooperatif dengan pemerintah. Akan tetapi, realitanya belum tercapai persamaan persepsi antara nelayan dan pemerintah. Turut sertanya mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat harus solutif melalui kegiatan penelitian maupun pengabdian masyarakat seperti yang dituturkan Taufik (Perikanan 2011).
Peran Mahasiswa untuk Kesejahteraan Nelayan
Kesejahteraan nelayan akan tercapai melalui kerja sama antara nelayan, pemerintah da mahasiswa. “Kesejahteraan nelayan tidak hanya dinilai dari 1 segmen, tapi merupakan proses dari hulu ke hilir,” jelas Murwantoko. Menurut Atif, kesejahteraan memiliki arti yang terlalu luas karena kesejahteraan hanya dapat dirasakan nelayan itu sendiri. Apabila objek pembahasan adalah materi, lebih tepat digunakan untuk menilai kemakmuran. Terkadang yang membuat ketidak sejahteraan tersebut adalah gaya hidup nelayan yang terlalu berlebihan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah perubahan paradigm melalui revolusi mental. Nelayan tidak boleh terlena dengan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah. Di satu sisi, pemerintah juga harus tegas untuk menindak kecurangan-kecurangan yang ada di lapangan.
Mahasiswa sebagai seorang akademisi diharapkan memiliki inovasi khususnya dibidang penangkapan. Hal tersebut dapat disalurkan melalui kerja lapangan, penelitian maupun skripsi. Mahasiswa memiliki tanggung jawab lebih terhadap masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat, termasu knelayan, mengharapkan mahasiswa bisa kembali ke masyarakat. Mahasiswa boleh memiliki cita-cita yang tinggi, berani mengambil risiko dan membela para nelayan. Namun, beranikah mahasiswa benar-benar menjadi nelayan?