“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”. Oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal dan revolusioner” – Ir. Soekarno
Ketika seorang pemimpin bangsa, seorang proklamator, dan termasuk salah seorang pendiri bangsa mendeklarasikan hal seperti itu, apakah kami para penikmat kemerdekaan akan tetap diam saja, acuh dan tak peduli? Saatnya mahasiswa bergerak! Mahasiswa sebagai agent of change, sebagai iron stock, dan sekian banyak sebutan lagi. Akan tetapi, bagaimana perannya dalam mengawal kedaulatan pangan? Bagaimana upaya agar bangsa berdaulat mengenai pangannya sendiri? Mampukah bangsa yang “katanya” berdaulat penuh ini memberi makan kepada warganya sendiri? Kedaulatan pangan tidak bisa menjadi sekedar angan-angan.
Kedaulatan Pangan di Bidang Perikanan
Dalam rangka HUT Primordia yang ke-32, BPPM Primordia menyelenggarakan diskusi umum dengan tema “Peran Mahasiswa dalam Upaya Perwujudan Ketahanan Pangan” (23/5) bertempat di gedung Sosek 304. Diskusi ini mengusung tema kedaulatan pangan karena kedaulatan pangan merupakan hal yang sangat sensitif untuk dibahas. Kedaulatan pangan harus segera diwujudkan, tidak hanya berhenti pada rencana apalagi sekedar sebuah wacana. Sebagai mahasiswa bukanlah waktu yang tepat hanya dengan menunggu. Akan tetapi, sebuah perubahan, sebuah pergerakan harus segera dilakukan.
Pembicara pertama dalam diskusi ini adalah Anes Dwi Jayanti, S.Pi., M.Sc. Beliau adalah dosen Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian UGM. Masalah utama yang dihadapai oleh sektor perikanan saat ini adalah rendahnya tingkat konsumsi ikan masyarakat per tahunnya. 2/3 luas Indonesia adalah kelautan maka tidak dapat dipungkiri bahwa hasil perikanan negara ini sangat melimpah. Akan tetapi, tingkat konsumsi ikan malah masih rendah. Rata-rata konsumsi ikan masyarakatnya adalah 34 kg/tahun. Hal tersebut jauh apabila dibandingkan dengan Jepang yang tingkat konsumsi ikannya rata-rata 60 kg/tahun.
Angka tersebut sangat terlihat bahwa konsumsi ikan Indonesia masih rendah. Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah namun tidak ada kemauan untuk mengkonsumsinya. Akan tetapi, fakta lain yang timbul sangat mencengangkan, Indonesia masih saja mengimpor ikan. Tentu hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan. Kemana larinya hasil produksi ikan kita? Proteksi terhadap hasil perikanan Indonesia merupakan hal yang perlu dengan luas wilayah lebih dari 1.900.000 km2 pengendalian serta kontrol hasil perikanan. Meski SDA perikanan Indonesia berlimpah namun tingginya nilai impor ikan kita tentu menjadi tamparan yang luar biasa untuk kita.
Selain itu Anes juga menekankan untuk tidak menyia-nyiakan makanan. “Just eat them all” serunya dengan tegas. Masyarakat Indonesia secara ekonomi memang belum merata. Di satu sisi sekelompok masyarakat mampu makan 3 kali sehari, namun di sisi lain tidak sedikit pula mereka yang hanya dapat makan sehari sekali. Saat ini, di Indonesia sudah banyak perkumpulan untuk merealisasikan slogan tersebut. Sebut saja “Table for two”, merupakan perkumpulan dimana mengajak anggotanya untuk selalu berbagi makanan atau bila ditilik dari namanya agar anggotanya tidak makan sendiri. Selain itu, ada pula situs freerice.com. Situs ini mengajak anggotanya untuk berdonasi dan hasilnya akan digunakan untuk pemberian beras gratis. Hal yang penting dari usaha ketahanan pangan ini adalah cara menghargai pangan itu sendiri.
Kedaulatan Pangan Memerlukan Pengorbanan
Sejak masa Ir. Soekarno seruan mengenai kedaulatan pangan sudah digencarkan. Akan tetapi hingga sekarang negara ini pun belum mampu melakukannya. Kedaulatan pangan itu perlu pengorbanan, sekilas makna yang tersirat dari pembicara ke-2 dalam diskusi ini yaitu M. Rom Ali Fikri yang merupakan perwakilan dari mahasiswa. Sebagai mahasiswa sebetulnya banyak yang bisa kita lakukan, mulai hal yang kecil hingga besar. Salah satu tokoh yang disebutkan Fikri adalah H.O.S Cokroaminoto. Pahlawan tersebut merupakan seorang jurnalis, dari menulis beliau dapat mempengaruhi keadaan pada masa lalu. Sebagai seorang jurnalis yang dapat kita lakukan untuk merealisasikan kedaulatan tentunya adalah dengan menulis. Terlihat sederhana, namun dalam sebuah tulisan terdapat senjata yang kuat. Termasuk ajakan dan pengaruh untuk merealisasikan kedaulatan pangan.
Ada pula seorang petani yang menemukan padi varietas baru, yaitu Surono Danu. Pengorbanannya dalam bidang pertanian sangat besar. Selama 8 tahun beliau melakukan riset dengan hanya menggunakan alat-alat terbatas untuk menemukan varietas baru tersebut. Padi ini dalam 1 hektar bisa dihasilkan gabah hingga 14 ton. Hasil tersebut hampir 3 kali lipat hasil padi biasa. Varietas baru yang menguntungkan ini dinamai “Sertani”. Pengorbanan Surono Danu yang lain adalah dengan tidak menjual benih padi ini kepada negara lain, bahkan saat negara tersebut menawar dengan harga yang tinggi Surono tidak menjualnya. Dia tegas mengembangkan padi tersebut untuk Indonesia. Untuk pertanian Indonesia yang lebih baik, untuk merealisasikan kedaulatan pangan di Indonesia.
Masalah pangan ini memang benar-benar krusial dan tidak dapat dihindari, lalu apa peran kongkrit mahasiswa dalam mengawal dan memajukan Negara ini dalam bidang pangan? Mulai dari hal yang terkecil yaitu coba menghargai pangan. Menghargai pangan bukanlah hanya dengan sekedar membeli saja. Namun, kita juga tidak boleh membuang-buang pangan yang kita peroleh. Setelah itu, mahasiswa juga bisa berperan dalam mendukung perkembangan pangan di Indonesia dengan adanya pendekatan terhadap masalah pangan ini tentunya makin banyak orang yang akan sadar dan mulai peduli tentang masalah kita dan itulah mengapa mahasiswa disebut Agent of change, ujar Fikri
Kedaulatan pangan tidak akan terealisasi tanpa adanya usaha. Kedaulatan pangan tidak akan terjadi tanpa adanya pengorbanan. Sebagai mahasiswa kita tidak dapat hanya berdiam diri menuggu perubahan yang terjadi. (tsa,fkz/ns)