Pada hari Senin (2/2/2015) sidang lanjutan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan dosen Fakultas Pertanian UGM dilaksanakan kembali di Pengadilan TIPIKOR DIY. Agenda sidang mendengarkan keterangan saksi dari pihak JPU (Jaksa Penuntut Umum). Saksi yang dihadirkan dua orang yaitu Drs. Sampurno yang merupakan pembeli tanah Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM dan Muhun Nugraha, SH yang merupakan petugas BPN Kabupaten Bantul.
Saksi pertama yang memberikan keterangan adalah Drs. Sampurno. Saksi merupakan pembeli tanah persil 41 (957 m2) dan 42 (422 m2). Saksi membeli tanah dengan harga Rp 350.000,00/m2, dibayar dua kali dengan cara transfer ke rekening atas nama Ir. Susamto (yang saat itu menjabat Ketua Yayasan Pembina FPN) pada tahun 2003. Pengurusan jual beli tanah menurut saksi diserahkan sepenuhnya ke pihak notaris dengan memberi kuasa pada Pangestuti, SH M.Kn. Selama mengurus proses jual beli dan pembuatan sertifikat tidak ada kendala atau permasalahan. Sertifikat tanah diterbitkan pada tahun 2005 yang meliputi sertifikat tanah persil 41 dan sertifikat tanah persil 42 dengan status hak milik. Kemudian pada tahun 2011, tanah tersebut dijual saksi dan sertifikat diserahkan kepada pihak pembeli.
Saksi langsung percaya untuk membeli tanah tersebut dan saksi juga meyakini bahwa tanah tersebut milik Yayasan Pembina FPN UGM. “Beliau (Ir. Ken Suratiyah) berasal dari keluarga terhormat, tidak mungkin membohongi saya”, tegas saksi yang juga pernah menjabat sebagai anggota Majelis Wali Amanat UGM kepada JPU. Saksi memperoleh informasi tentang tanah tersebut dari Ir. Ken Suratiyah, “tanah yayasan mau dijual dan belum bersertifikat”, saksi menirukan pernyataan Ir. Ken Suratiyah saat menawarkan tanah tersebut.
Dokumen yang dilihat saksi selama proses jual beli tanah hanya akta jual beli tertanggal 12 November 2002 dan Letter C yang ditanda tangani Kepala Desa Bangun Tapan Abdullah Sajad. Yang bertindak sebagai saksi saat jual beli adalah Kepala Desa Banguntapan (Abdullah Sajad) dan dukuh dimana tanah tersebut berlokasi. Saat ditanya oleh JPU mengapa saksi menggunakan PPAT camat bukan notaris, saksi menjawab bahwa hal tersebut disarankan oleh Ir. Ken Suratiyah. Pernyataan tersebut kemudian dijawab oleh penasehat hukum para terdakwa, “tanah yang belum bersertifikat sesuai UUPA hanya boleh dibuat oleh PPAT camat”, jelas Augustinus Hutajulu, SH, MH.
Keterangan kedua diberikan oleh Muhun Nugraha, SH yang menjabat di BPN Bantul sebagai Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara sejak 2012 sampai sekarang. Sebelum memberikan keterangan hakim menegaskan bahwa saksi merupakan saksi biasa bukan saksi ahli sehingga tidak boleh berpendapat. Saksi menjelaskan bahwa tanah yang hanya memiliki Letter C dan belum bersertifikat maka harus dikonversi terlebih dahulu berdasarkan ketentuan UUPA agar menjadi dapat diterbitkan menjadi setifikat dan bila calon penerima hak tidak sesuai dengan UUPA maka harus melalui pelepasan. Saksi menyebutkan sertifikat tanah atas nama PT. Gema Citra Artindo (PT. Getrindo) sudah memenuhi syarat karena berbetuk badan hukum PT yang harus melalui proses pelepasan hak dan hal tersebut sudah dilakukan.
Hakim menanyakan tentang surat pernyataan Kepala Desa Banguntapan tentang kepemilikan tanah oleh Yayasan Pembina FPN pada tahun 1963 sedangkan akta pendirian Yayasan Pembina FPN tercantum tahun 1969. Saksi menyatakan bahwa dokumen yang diserahkan pada waktu itu sudah memenuhi syarat, dokumen yang berasal dari pemerintah desa dianggap sudah betul, jadi pihak BPN tidak meneliti lagi ke Desa. Hakim juga menanyakan perihal adanya sertifikat ganda yang dimiliki oleh Hertiwi tahun 1987 dan Yayasan Pembina FPN tahun 2008 atas tanah persil 180. Saksi menjelaskan hal tersebut dapat terjadi karena pada tahun 1987 belum memakai standar terintegrasi sehingga tanah belum dimasukkan dalam peta, dan dapat diajukan dokumen sesuai syarat-syarat untuk mendapatkan sertifikat. Menurut saksi salah satu dari sertifkat yang dimiliki Hertiwi atau Yayasan Pembina FPN adalah palsu. Saksi menjelaskan bahwa saat ini, hal tersebut tidak akan terjadi lagi karena tanah yang sudah bersertifikat akan dimasukkan dalam peta digital yang secara otomatis akan menyimpan letak tanah-tanah yang sudah bersertifikat.
Ketika hakim menyinggung tentang perbedaan penulisan dalam Letter C dan buku papriksan, saksi menjelaskan bahwa buku Letter C diibaratkan sertifikat sedangkan papriksan adalah akta jual beli sehingga tidak boleh berbeda penulisannya. Namun saksi menyatakan bahwa BPN tidak mempunyai wewenang untuk menyelidikinya.
Pada poin 23 dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) saksi menyatakan bahwa tanah-tanah yang disengketakan adalah milik UGM Yogyakarta. Ketika ditanya mengenai hal tersebut, saksi menjelaskan tanda bukti hak milik adalah Letter A, C, D, dan E, sehingga saksi mencabut keterangan pada poin 23 dalam BAP tersebut.
Saksi (Muhun Nugraha, SH) juga mencabut keterangan bahwa buku papriksan merupakan berita acara, hal ini dikarenakan buku papriksan yang dijadikan sebagai alat bukti oleh penyidik Kejati DIY ternyata tidak ditandatangani dan hanya ada cap jempol diatas nama-nama warga yang tidak diketahui siapa. Saksi baru mengetahui hal tersebut ketika ditunjukkan buku pariksan di dalam persidangan.
Reporter : Dzaky
Editor : Ezha