Oleh : Arintya P. Fadhila
“Heh! Kamu ketrima di UGM juga?”
Aku menoleh. Telinga ini seakan sudah terbiasa dengan sapaan ‘Heh!’ yang terlontar dari mulutnya.
“I-iya. Kenapa?”
“Widih, beruntung banget! Lewat jalur apa, hm? Bukan jalur undangan, kan?”
Sumpah, ya. Dari jaman SD aku satu kelas sama dia, kebiasaannya merendahkan orang lain belum juga berubah.
“Lewat jalur manapun, yang penting aku masuk UGM. Bisa kuliah sama bisa berprestasi di sini…”
“Wow, berprestasi? Ngomong-ngomong prestasi, aku jadi pengen ngasih tantangan nih. Gimana kalo kita dalam dua semester ke depan saling adu prestasi?”
Aku tersenyum getir. Anak ini belum juga berubah.
“Siapa takut.”
***
Raka Aldebaran. Sembilan tahun yang lalu, Raka adalah teman sebangkuku saat sekolah dasar. Orangnya kalem dan sangat terobsesi dengan pelajaran sekolah. Ia akan belajar hingga larut malam atau bahkan tidak tidur untuk mendapatkan nilai 100. Dan, Raka akan sangat kecewa walaupun ia telah mendapatkan nilai 99.
“Nilai 99 itu sampah!”
Katanya setiap kali aku menanyakan mengapa ia menangis seusai dibagikan kertas ulangan. Tapi, aku tetap senang berteman dengannya. Satu sifat yang dapat kulihat dari Raka adalah pantang menyerah.
Namun, pertemanan kami agaknya harus berakhir di sekolah dasar. Aku yang saat itu terpilih menjadi siswa teladan di sekolah, harus menerima kenyataan pahit kehilangan teman seperti Raka. Raka yang kukenal sebagai siswa yang kalem, siang itu meledak emosinya sesaat setelah aku turun panggung untuk menerima piagam penghargaan dari kepala sekolah.
“Kok kamu bisa kepilih jadi siswa teladan, sih? Dari kelas satu sampe kelas lima kan, aku yang selalu juara kelas?! Aku juga selama lima tahun menjabat sebagai ketua kelas? Bahkan, orangtuaku penyumbang terbesar dana renovasi sekolah ini. Jangan-jangan orangtuamu nyogok kepala sekolah, ya?!”
Mendengar perkataan Raka tersebut, aku hanya bisa menangis. Bagaimana sih, perasaan anak SD yang baru saja dinobatkan menjadi siswa teladan lalu dikatai seperti itu? Apa lagi, orangtuaku hanya karyawan swasta dengan gaji UMR kota yang rendah. Duit dari mana yang bisa digunakan orangtuaku untuk menyogok kepala sekolah?!
Sakit hati.
Ya, mungkin dua kata itu yang bisa digambarkan jika aku mendengar nama Raka. Untuk itu, aku merengek pada kedua orangtuaku agar tidak dimasukkan ke sekolah yang sama dengan Raka. Berbagai alasan kubuat, mulai dari ingin mendapat teman baru, sekolahnya terlalu jauh, sampai alasan-alasan lainnya.
Akhirnya, selama enam tahun mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, aku benar-benar menjaga jarak dengan yang namanya Raka.
Sampai akhirnya, aku kembali bertemu dengan Raka pada masa orientasi fakultas di kampus yang katanya kampus kerakyatan ini.
***
Aku memarkirkan sepeda lalu tergesa menuju ruang 301. Dengan menaiki tangga Gedung A.10 dua anak tangga sekaligus, aku berharap masih bisa mengikuti UAS hari pertama ini.
“Permisi…”
Aku membuka pintu yang dengan sialnya berdecit keras ini, lalu masuk dan menghadap ke pengawas.
“Maaf Pak, tadi ban sepeda saya bocor di jalan,” kataku jujur.
“Lain kali, jangan terlambat!”
Untungnya aku masih dapat mengerjakan soal ujian.
Aku melirik Raka yang duduk di depanku. Tangannya bukan sibuk menuliskan jawaban di kertas, melainkan sibuk mengorek isi kantong kemejanya. Ia lalu mengeluarkan lembaran kecil dengan tulisan mirip ceker ayam, kertas contekan.
***
Aku melangkahkan kakiku dengan mantap di Jalan Sosio Justicia. Ya, ini adalah hari pertama kuliah di semester dua. Meskipun IP di semester satu tidak menunjukkan bahwa aku cumlaude, tapi setidaknya masih di atas 3.
Hari ini, mata kuliah pertama adalah Statistika. Aku sengaja mengambil kelas besar agar semakin banyak teman yang bisa kukenal. Tidak peduli dengan siapa dosennya ataupun bagaimana standar dosen memberikan nilai.
“Muhammad Imam…Rajata Djasin…Raka Aldeba—“
Mataku terhenti pada satu nama. Raka.
Dan, aku satu kelas dengan Raka lagi?
Aku duduk di dekat pintu, menghindari kantuk dengan mendengar bunyi nyaring dari decit pintu. Agak aneh memang, tapi benar-benar cara yang ampuh untuk mengusir kantuk.
Perkuliahan dimulai. Dosen yang mengajar berasal dari fakultas sebelah yang dilihat dari penampilannya saja sudah membosankan.
Kaku adalah satu kata yang terlukis dari cara mengajar dosen itu. Beliau hanya menuliskan rumus kemudian memberikan latihan soal. Satu hal yang kuperhatikan dari dosen itu adalah beliau jarang berinteraksi dengan mahasiswa.
Kuliah pagi ini serasa mem-bo-san-kan.
“Eh, tadi bapaknya bilang kalau H0 ditolak jika apa?” aku bertanya pada teman di sebelahku.
Betapa kagetnya aku saat melihat ia tengah menandatangani kolom absen milik Raka.
“Eh, lo tadi nanya apa?” tanyanya sambil menyerahkan daftar hadir kepadaku.
“Tunggu, kok kamu nandatanganin punya Raka?”
“Oh, dia nitip absen.”
“…”
“Santai aja kali, nggak bakal ketahuan! Semester kemaren dia juga sering kok nitip tanda tangan ke gue, dan nggak ada satupun yang ketahuan…”
***
Hari ini, akhir bulan Agustus, aku bersiap menemui rivalku, Raka. Kami akan bertemu untuk mengetahui siapakah di antara kami berdua yang paling berprestasi selama dua semester ini.
“Heh! Rajata!”
Bahkan, di dua semester ini, ia masih memanggilku dengan ‘Heh!’.
“Hoi, gimana kabarmu, Ka?”
“Baik, pake banget. Sini KHS-mu!” ia dengan tidak sopannya merebut KHS yang ada di tanganku.
“Semester satu 3,20 semester dua 3,18? Fix gue menang! Nih liat KHS-ku…” ia mengembalikan KHS milikku lalu membuka lebar-lebar KHS miliknya.
“3,57…3,68…”
Kemudian aku tersenyum kecil.
“Tuh, kan. Aku emang lebih berprestasi dari kamu…” kata Raka sambil duduk di pelataran gazebo kampus.
Aku hanya diam lalu duduk di sampingnya.
“Selamat, Ka. Kamu emang lebih berprestasi dari aku,” aku mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman.
“Duh, nggak usah berlebihan.” kulihat dari ujung mataku ia tampak tersenyum penuh kemenangan.
“Ka, menurutku berprestasi itu bukan cuma soal akademik.”
Raka menoleh ke arahku.
“Heh! Ngelindur?! Yang namanya berprestasi itu ya diliat dari akademik, IP cumlaude! Masih nggak terima IP-mu di bawahku, hah?!”
“Menurutku berpretasi itu seberapa jauh kita berhasil dalam melakukan poin-poin yang ingin kita capai.”
Aku merogoh kantong kemejaku, lalu mengeluarkan sebuah kertas kumal yang warnyanya sudah menguning.
“Ini beberapa poin yang kubuat setelah aku dinyatakan lolos seleksi SBMPTN setahun lalu. Dan beberapa yang kuberi tanda love adalah pencapaianku sampai saat ini…”
Raka kembali merebut selembaran kumal milikku, sama seperti tadi ia merebut KHS dari tanganku.
“Dan satu lagi, Ka. Apa arti IP cumlaude kalau itu hasil nyontek sama titip tanda tangan. Jadi, IP ini jangan sampe kamu liatin ke Mama-Papamu di Bandung. Kasian mereka udah ngeluarin duit dan tenaga tapi malah kamu kasih hasil nyontek sama titip tanda tangan.”
Aku beranjak dari tempatku duduk lalu menepuk pundaknya pelan.
***
Rajata’s Dream Note :
1. Masuk lembaga eksekutif mahasiwa! ♥
2. Dapat beasiswa buat bantuin Ibu-Bapak bayar kos! ♥
3. Lebih aktif ngeblog dan gabung di Blog of Frienship Indonesia! ♥
4. Punya pacar!
5. Beliin Ibu motor!
6. Salah satu tulisan harus udah nampang di media cetak! ♥
7. Ikut klub jurnalistik! ♥
8. Jadi kontributor wilayah buat liputan berita di TV! ♥
9. IP min 3. Amin! ♥
10. Bikin paspor! ♥